ISLAMTODAY ID — Namanya begitu melegenda di kalangan rakyat Aceh, ia adalah Laksamana Keumalahayati. Ia merupakan seorang putri dari kalangan bangsawan Kesultanan Aceh Darussallam.
Darah biru Keumalahayati diperolehnya dari jalur ayahnya yang bernama Laksamana Mahmud Syah, kakek bernama Laksamana Muhammad Said Syah. Laksamana Said Syah ini adalah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang berkuasa pada 1530-1539.
Adapun kakek buyut Keumalahayati, Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah yang memerintah pada 1513-1530.
Darah jiwa bahari dari sang ayah dan kakek pun mengalir dalam diri seorang Keumalahayati. Perjalanannya sebagai seorang panglima perang laut dimulai ketika ia menempuh pendidikan militer di Mahad Baitul Maqdis.
Keberadaan Baitul Maqdis ini erat kaitannya dengan adanya relasi yang kuat antara Kesultanan Aceh Darussalam dan Kesultanan Turki Utsmani. Pada 20 September tahun 1567, Sultan Selim II mengirimkan bantuan ke Aceh.
Pengiriman bantuan Turki ke Aceh tersebut menandai suksesnya diplomasi kedua negara. Sultan Alauddin Riayat Shah Al Kahhar (1537-1571) meminta dukungan Sultan Selim II untuk melawan Portugis di Asia Tenggara.
Sultan Selim II pun dengan senang hati mengirimkan bantuan ke Aceh mulai dari ulama, hingga sejumlah pakar di bidangnya. Mereka terdiri atas ahli tehnik, ahli pertambangan, ahli persenjataan, termasuk ahli militer.
Salah satu bantuan paling berkesan ialah hadirnya lembaga pendidikan militer, Baitul Maqdis atau Mahad Beitul Mukkadis. Tentara Turki Utsmani berperan aktif sebagai instruktur yang melatih para taruna.
Keumalahayati dan suaminya merupakan taruna lulusan Baitul Maqdis. Kelak keduanya pun berkarir di dunia militer hingga akhir hayat.
Kiprah Keumalahayati
Keumalahayati mulai terlibat aktif dalam dunia militer pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604). Ia diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam.
Keseriusannya di dunia militer makin nampak pasca syahidnya sang suami dalam pertempuran di Teluk Haru. Pada saat itu para pejuang Aceh mampu mengalahkan pasukan Portugis.
Meskipun kemenangan berada di pihak Aceh, namun Aceh juga harus merelakan Sebagian pejuangnya syahid. Diantarsanya dua orang panglima laut Kesultanan Aceh dan 1000 prajuritnya.
Salah satunya ialah syahidnya suami dari Keumalahayati. Jiwa kepahlawanan Keumalahayati mendorongnya untuk berinisiatif membentuk armada perang yang berasal dari para janda istri pejuang Aceh.
Perang Melawan Cornelis de Houtman
Menurut kesaksian John Dawis seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda kapal Belanda menyebutkan bahwa perlangkapan perang Inong Balee termasuk yang terkuat di Asia Tenggara.
Armada yang dipimpin oleh Keumalahayati ini memiliki 100 buah kapal perang lengkap dengan meriam. Kapal-kapal Aceh pada masa itu memiliki kapasitas penumpang hingga 400-500 orang.
Keumalahayati memiliki sebuah armada perang bernama Inong Balee (Janda Perempuan). Mereka memiliki pangkalan militer di Teluk Krueng Raya terletak di perbukitan dengan ketinggian 100 meter dari permukaan air laut.
Pada awalnya armada Inong Balee beranggotakan 1000 orang prajurit. Seiring berkembangnya waktu prajurit perempuan di Inong Balee mencapai 2000 orang, penambahan pasukan tidak hanya berasal dari kalangan janda saja.
Sosok Keumalahayati mulai dikenal dunia pasca insiden pertempurannya dengan penjelajah laut Belanda, de Houtman bersaudara. Kedatangan Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman pada 24 Juni 1599 awalnya berjalan baik.
Namun karena sikapnya yang culas Sultan Aceh pun murka dan mengutus Laksamana Keumalahayati bersama Inong Balee untuk menyerang Belanda. Sebelumnya perilaku serupa juga dilakukan oleh Cornelis de Hotman selama singgah di Banten pada 1596.
Kesultanan Aceh sangat tegas dalam menindak kolonialis Belanda. Laksamana Keumalahayati selaku pimpinan perang berhasil memenangkan peperangan antara dirinya melawan Cornelis de Houtman.
Kemenangan Keumalahayati ini pun berbuah manis, Belanda akhirnya memilih jalan damai dengan jalur diplomatik. Belanda mengakui kehebatan armada perang Aceh, Inong Balee setelah mengetahui tewasnya Cornelis de Houtman serta ditangkap dan dipenjarakannya Frederik de Houtman.
Pangeran Maurits bahkanharus turun tangan membaskannya. Hingga akhirnya pada 1602, Belanda mengundang Kesultanan Aceh untuk datang ke Belanda.
Sultan mengutus tiga orang untuk datang melawat ke Belanda, mereka adalah Abdul Zamat, Seri Mohamat dan Meras San atau Abdul Hamid atau dikenal Sri Muhammad. Kedatangan mereka menandai dimulainya hubungan diplomatik Aceh dan Belanda.
Tentu masih ada kemenangan-kemenangan lainnya yang membuat Keumalahayati begitu di segani Belanda. Selain Belanda, Inggris adalah negara berikutnya yang mengakui kehebatan serta kemampuan diplomasi Keumalahayati.
Inggris mungkin tidak akan melupakan jasa-jasa Keumalahayati, sebab pada saat itu para pelaut Inggris akhirnya bisa memperoleh ijin pelayaran ke Jawa. Tak heran jika dunia mengenangnya sebagai sosok pejuang perempuan yang terhormat, berani, hebat dan sukses.
Penulis: Kukuh Subekti