Pergulatan AL Washliyah dan Misi Kristen Di Sumatera Utara
Al Jam’iyatul Washliyah berdiri pada 9 Rajab 1349H bertepatan dengan 30 November 1930 di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Organisasi ini berdiri dalam rangka menentang praktik politik adu domba Belanda kepada umat Islam.
Umat Islam di Medan khususnya dihadapkan pada persoalan serius dalam hal ukhuwah islamiyah. Saat itu Belanda berhasil menciptakan dua kelompok yang saling bertentangan.
Situasi makin memanas dengan perpecahan di kalangan umat Islam khususnya dalam aspek ibadah dan cabang dari agama (furu’iyah). Perbedaan yang kian meruncing pada saat itu menjadi ancaman serius bagi jalinan silaturahmi kaum muslimin Medan.
Puncaknya pada 26 Oktober 1930 para ulama, guru, dan pelajar muslim dan tokoh-tokoh umat Islam di Medan mengadakan musyawarah besar di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT), Medan.
Sebagai organisasi yang ingin menjaga kesatuan umat Islam di Sumut, mereka pun melibatkan Kesultanan Deli. Hal ini dibuktikan dengan susunan kepengurusan Al Jam’iyatul Washliyah pada periode Juni hingga Desember 1931.
Pada periode tersebut ada dua orang kadi (hakim) yang diplih oleh Sultan Kesultanan Deli, ada dua nama kadi dalam kepengurusan Al Jam’iyatul Washliyah saat itu. Mereka adalah Kadi Ilyas dan Kadi Mahmud.
Adapun susuan kepengurusan Al Jam’iyatul Washliyah pada periode Juni sampai Desember 1931 adalah sebagai berikut: Kadi Ilyas (Ketua I), Ismail Banda (Ketua II), Kadi Mahmud (Penulis I), Adnan Nur (Penulis II), H. M. Yakub (Bendahara), Abdurrahman Syihab, Abd. Wahab sebagai pembantu.
Sementara Syaikh Islam Kerajaan Negeri Deli, Syaikh Hasan Maksum dan Syaikh Haji Muhammad Yunus seorang ulama dari Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) menjadi penasihat dari organisasi Al Jam’iyatul Washliyah.
Syaikh Yunus juga orang yang mengusulkan agar organisasi tersebut diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah.
Pendirian organisasi pendirian Al Jam’iyatul Washliyah pun disambut baik oleh Sultan Amaludin Sani Perkasa Alamsyah (1924-1945). Mengingat saat itu Belanda telah tiba di Medan dan wewenang sultan pun turut dibatasi.
Pada masa kolonial peran Sultan Amaludin hanya terbatas dalam bidang keagamaan dan adat istiadat. Keberadaan Al Jam’iyatul Washliyah tentu sangat membantunya dalam menjalankan wewenangnya.
Al Jam’iyatul Washliyah pada awalnya mempunyai periode kepengurusan enam bulanan. Namun sejak 30 Juni 1932, mereka melakukan perombakan organisasi dengan merubah periode kepengurusan dari enam bulan menjadi satu tahun.
Membendung Kristenisasi
Sejarah Kristenisasi Sumut pertama kali dilakukan pada masaThomas Stamford Rafles (Inggris) pada tahun 1823. Akan tetapi belum membuahkan hasil, dilanjutkan kembali oleh Belanda beberapa tahun kemudian.
Penandatanganan perjanjian antara Kesultanan Deli dan Belanda, pada 22 Agustus tahun 1862 menjadi penanda dimulainya kristenisasi. Sebab perjanjian tersebut diikuti dengan masuknya pengaruh Belanda di Kesultanan Deli.
Beberapa tahun sebelum perjanjian Belanda lebih dulu melakukan penelitian tentang masyarakat Batak. Pada tahun 1840, Belanda sengaja mendatangkan antroplog berkebangsaan Jerman, Frans W. Junghum.
Hasil kajian Junghum, yang berjudul Keadaan Tanah Batak selanjutnya dimanfaatkan oleh Kongsi Bible Netherland (NZG). Mereka memanfaatkan jasa seorang ahli bahasa untuk ,melacarkan agenda kristenisasi.
Kongsi Bible Netherland meminta seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk datang ke Tanah Batak. Di sana ia menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Batak.
Begitulah awal mula suksesnya Kristenisasi di Batak, Sumut. Hingga pada tahun 1870 semua raja Batak telah tunduk di bawah pemerintah kolonial Belanda.
Maka sejak saat itu arus Kristenisasi di Batak tidak lagi memiliki hambatan. Perlawanan terakhir terhadap gereja terjadi pada 17 Juni 1907, hal ini ditandai dengan gugurnya Sisingamangaraja XII.
Hal inilah yang mengundang keprihatinan Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, ia adalah salah satu tokoh utama Al Jam’iyatul Washliyah yang aktif menentang kristenisasi. Ia pun banyak dikenal sebagai seorang Kristolog.
Salah satu basis dakwahnya melawan Kristenisasi ialah di kawasan Toba, Sumut. Dengan menempuh medan yang tidak mudah sebab di kawasan pegunungan, mereka tetap berdakwah.
Salah satu lokasi dakwah dengan medan yang cukup sulit itu ialah lembah Porsea. Di sana mereka harus bertarung melawan gerakan zending Kristen.
Berkat kegigihan Al Jam’iyatul Washliyah dalam melaksanakan Zending Islam akhirnya rakyat lebih banyak memilih sekolah Zending Islam.
Ia melakukan berbagai cara untuk membawa kembali masyarakat Batak masuk ke agama Islam. Salah satu lokasi dakwah Islam yang dipilih oleh Kristolog dari Al Jam’iyatul Washliyah tersebut ialah Tanah Batak dan Tanah Karo.
“Dia kemudian keluar-masuk kampung yang ada di Tanah Batak dan Tanah Karo untuk berdialog dan berdiskusi tentang kristianitas. Tidak sedikit penduduk kemudian memeluk Islam. Diantara dialog yang pernah dilakoninya adalah: dengan pendeta Rivai Burhanuddin (Pendeta Kristen Advent), Van Den Hurk (Kepalar Gereja Katolik Sumatera Utara), dan Dr. Sri Hardono (tokoh Kristen Katolik) (insists.id, 22/12/2010).
Syaikh Thalib Lubis pun menerbitkan sejumlah buku penting untuk melawan gerakan Zending. Buku- buku karyanya terdiri atas: Rahasia Bible, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Keesaan Tuhan Menurut Kristen dan Islam serta Berdialog Antara Kristen dan Adventis.
Karya Seyaikh Thalib Lubis yang monumental adalah Perbadingan Agama Islam dan Kristen. Buku tersebut pun mendapat pujian dari Guru Besar Perbandingan Agama dari Universitas Islam Internasional Malaysia, Dr. Kamaroniah Kamaruzzaman.
Melalui karya-karya intelektualnya pula daerah Tiga Binanga, Tiga Beringin dan Pancur Jawi terkenal akan keislamannya yang kuat. Terutama karyanya yang berjudul Pokok-Pokok Ajaran Islam.
Kegigihan Al Jam’iyatul Washliyah dalam melawan gerakan zending mendapat apresiasi dari Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). Pada Muktamar MIAI Solo 5-8 Agustus 1941 di Solo, Al Jam’iyatul Washliyah dipercaya sebagai ketua pelaksana.
Diantaranya membentuk pusat-pusat dakwah Islam di seluruh Indonesia. Terlibat dalam tim tersebut diantaranya ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) mewakili Muhammadiyah.
Kehadiran Al Jam’iyatul Washliyah pada perkembangannya ialah menentang aktivitas zending dalam bentuk apapun. Mereka tidak hanya disibukkan dengan aktivitas dakwah semata.
Al Jam’iyatul Washliyah juga aktif dalam mencerdaskan bangsa terbukti dengan hadirnya 1036 lembaga pendidikan dari TK hingga SMA, 9 perguruan tinggi. Sementara dalam bidang sosial memiliki 14 Panti asuhan yatim-piatu.
Jumlah anggota mereka di seluruh pelosok Indonesia mencapai 15 juta jiwa. Persebaran anggota terbanyak berada di Sumut, Aceh, Riau dan Jawa Barat.
Penulis: Kukuh Subekti