ISLAMTODAY ID — Sultan Agung Hanyakrakusuma atau Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram memiliki peran besar dalam proses islamisasi.
Sultan Agung merupakan sultan ketiga di Kesultanan Mataram Islam yang berkuasa pada 1613-1646 M. Ia dinilai mampu membawa kemajuan di berbagai bidang, terutama dakwah Islam dan kebudayaan.
Hal ini didukung dengan meluasnya kekuasaan wilayah Mataram Islam. Di Pulau Jawa hanya Banten dan Batavia saja yang tidak masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Kemajuan di bidang kebudayaan ditandai dengan akulturasi kebudayaan yang tinggi, antara Islam dan Jawa. Mulai dari Garebeg Mulud, Garebeg Poso, Garebeg Besar, penulisan Kitab Sastra Gendhing hingga memasukan pengaruh islam dalam kalender Jawa dyang sebelumnya dipengaruhi kebudayaan Hindu.
Dakwah Islam pada periode kepemimpinannya juga terbilang maju. Selain memperluas bagunan serambi pada Masjid Gede Mataram atau Masjid Kotagede, ia juga memperluas syiar Islam dengan menerjunkan para kiai atau ulama hingga ke desa-desa.
Dilansir dari Jurnal Studi Agama, Millah edisi Vol.19, No.2 Februari 2020 disebutkan jika Sultan Agung memberikan perhatian serius terhadap dakwah Islam. Masjid Gede dijadikannya sebagai masjid induk dari semua masjid.
Untuk keperluan syiar Islam di wilayah Kesultanan Mataram, Sultan mengangkat seorang penghulu atau qadli. Ia adalah pejabat agama yang bertanggungjawab dalam hal penyelenggaraan agama Islam.
Berbagai persoalan umat Islam baik bersifat ibadah, lalu mu’amallah atau munakahah berada di tangannya. Untuk membantunya di masjid Gede terdapat 40 orang pegawai.
Sementara di tingkat daerah, Sultan Agung membangun masjid Kawedanan. Pada setiap masjid Kawedanan ini dipimpin seorang naib dan dibantu oleh 11 orang pegawai.
Selanjutnya pada tingkatan desa, setiap masjid dipimpin oleh seorang modin. Sama halnya dengan seorang penghulu, dan seorang naib, seorang mudin juga dibantu oleh sejumlah pegawai sebanyak empat orang.
Tidak hanya itu di desa-desa, Sultan Agung juga mendirikan beberapa tempat pengajian. Setiap tempat ngaji ini dipimpin oleh Kiai Anom dan Kiai Sepuh.
Keduanya menjadi ujung tombak dakwah Islam di masyarakat desa. Berbagai kegiatan pengajaran Islam dilakukan seperti baca tulis huruf hijaiyah, baca Alqur’an, Barzanji, pokok-pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam seperti tata cara beribadah (fikih), rukun iman (akidah), rukun islam, fikih, tafsir, hadis, ilmu kalam, tasawuf, nahwu, sharaf, falak, dan lainnya dengan kitab seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan lainnya.
Penghulu Ageng
Fauzan Naif dari Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Kalijaga, Yogyakarta membedah peran sentral ulama atau penghulu pada era Sultan Agung. Bagi kesultanan Mataram, seorang penghulu memiliki jabatan penting sebagi seorang hakim.
Fauzan menyebut jika sosok ulama pada era Sultan Hanyakrakusuma memiliki kedudukan yang terhormat. Seorang ulama yang ditetapkan sebagai penghulu ditetapkan sebagai Dewan Parampara, sebagai Penasihat Tinggi Kerajaan.
Selain menjadikan mereka sebagai penasihat khusus raja, Sultan juga mendirikan Mahkamah Agama Islam. Melalui mahkamah ini hal-hal yang berkaitan dengan umat Islam diserahkan wewenangnya kepada ulama yang dipimpin oleh seorang penghulu.
Para penghulu dan pegawai-pegawai masjid dari tingkat pusat hingga desa menjadi abdi dalem keraton. Sebagai abdi dalem keraton mereka pun mendapatkan gaji berupa tanah lungguh.
Tradisi yang dilakukan oleh Sultan Agung ini bahkan berlanjut setelah Mataram terbagi menjadi empat (Kesultanan, Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran). Masing-masing dari mereka mendirikan lembaga keagamaan yang dipimpin oleh kapengulon, pamethakan, yogaswara yang dipimpin oleh Penghulu Ageng.
Berikut ini keterangan tentang lebih lanjut mengenai jabatan seorang penghulu. Pada tingkat pusat penghulu disebut dengan Penghulu Ageng. Pada tingkat kabupaten, penghulu disebut dengan penghulu kepala, penghulu landraad, khalifah landraad, khalifah.
Wakilnya disebut Ajung Penghulu, Ajung Khalifah. Selanjutnya pada tingkat kawedanan, penghulu, naib atau wakil ajung penghulu. Sementara pada tingkat kecamatan disebut penghulu, naib dan pada tataran desa mereka disebut dengan modin, kaum, kayim, labe dan amil.
Penulis: Kukuh Subekti