ISLAMTODAY ID — Pasca perumusaan Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) melanjutkan kembali agenda sidang berikutnya. Tepat pada 10 Juli 1945, sidang kedua BPUPKI dimulai.
Pada hari itu Soekarno selaku Ketua Tim Sembilan menyampaikan hasil rumusan Piagam Djakarta kepada forum BPUPKI. Dimana telah ada kesepakatan yang bulat antara wakil Islam dan wakil kebangsaan.
“Panitia 9 orang inilah sesudah mengadakan pembicaraan yang masak dan sempurna telah mencapai hasil baik untuk mendapatkan satu modus, satu persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan,” kata Bung Karno dalam paparannya dikutip dari Buku Risalah Sidang BPUPKI-Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar 1945.
“Modus persetujuan itu termaktub di dalam satu rancangan pembukaan hukum dasar, rancangan preambule hukum dasar, yang dipersembahkan sekarang oleh panitia kecil (Panitia 9) kepada sidang (BPUPKI), sekarang ini, sebagai usul,” jelas Soekarno.
Salah satu agenda utama sidang kedua BPUPKI adalah menyusun rancangan undang-undang dasar (UUD). Hasil musyawarah Panitia 9, Piagam Djakarta selanjutnya masuk dalam pembahasan yang serius di forum sidang BPUPKI, mulai dari 11-13 Juli 1945.
Selanjutnya melalui buku tersebut juga dijelaskan tentang pembentukan panitia kecil. Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat pada 11 Juli 1945 mengumumkan susunan panitia kecil Perancang Undang-undang Dasar 1945.
Terdapat sembilan belas orang yang dimasukkan dalam keanggotaan tim kecil tersebut. Mereka adalah Haji Agus Salim, Wachid Hasyim, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Wongsonegoro, Sukarno, Supomo, Subardjo, Panji Singgih, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, Parada Harahap, Johannes Latuharhary, Alexander Andries Maramis, Susanto, Sartono, Wurjaningrat, Husein Djajadiningrat, Tan Eng Hoa dan Nyonya Santoso.
“Soekarno, yang saya minta supaya mengetuai Panitia (Perancang UUD),” kata Radjiman.
Berikut ini rancangan pembukaan dasar negara, Piagam Djakarta yang disampaikan Bung Karno dalam forum Sidang BPUPKI kedua pada 10 Juli 1945:
“Pembukaan: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia itu telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Debat Tujuh Kata
Pada 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD mulai mengadakan rapat, perdebatan serius pun muncul. Dialektika perdebatan mewarnai forum terutama berkaitan dengan rancangan pembukaan UUD bentukan Panitia 9.
Klausul yang menjadi perdebatan ialah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Perdebatan cukup serius terjadi antara tokoh Kristen dari Maluku, Latuharhary dan Haji Agus Salim.
Hal ini bermula ketika Latuharhary memberikan pandangannya terkait dimuatnya tujuh kata tersebut dalam pembukaan UUD. Ia menduga dengan dicantumkannya kata-kata, ‘berdasar atas ke-Tuhanan, dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya.
“Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain. Karena itu diminta supaya di dalam Undang-undang Dasar diadakan pasal yang terang,” ujar Latuharhary.
Latuharhary berarugumen keberadaan kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akan memicu kekacauan. Terutama kekacauan dengan hukum adat istiadat.
“Kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat,” jelasnya.
Pernyataan di atas pun segera dibantah oleh Haji Agus Salim. Ia dengan sangat tegas mengatakan bahwa pertentangan antara hukum Islam dan hukum adat di Indonesia adalah masalah lama dan sudah selesai.
“Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan pada umumnya sudah selesai,” ungkap Haji Agus Salim.
Pada saat yangs sama juga Haji Agus Salim mengatakan jika umat agama lain tidak perlu risau. Mereka akan tetap terlindungi oleh umat Islam yang jumlahnya mencapai 90%.
“Lain dari itu orang-orang yang beragama lain tidak perlu kuatir, keamanan orang-orang itu tidak tergantung kepada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu,” tegas Haji Agus Salim.
Bung Karno pun menengahi forum tersebut dengan membela wakil-wakil Islam. Ia mengatakan justru jika kata-kata tersebut tidak dimasukkan hal itu akan mengecewakan wakil-wakil Islam.
“Preambule adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” tutur Bung Karno.
Bung Karno bahkan dengan tegas mengingatkan kembali bahwa pencantuman tujuh kata itu dalam Preambule adalah bentuk kompromi antara wakil Islam dan kebangsaan.
“Mengulangi lagi bahwa kalimat itu kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam, yang hanya didapat dengan susah payah,” tandas Bung Karno.
Perdebatan pun berakhir dengan pembentukan panitia kecil untuk merancang undang-undang dasar. Bung Karno menunjuk sejumlah nama dalam kepanitiaan kecil yang diketuai Supomo (ketua) dengan anggota Haji Agus Salim, Soekiman Wirjosandjojo, Wongsonegoro, Subardjo, Alexander Andries Maramis dan Panji Singgih.
Penulis: Kukuh Subekti