ISLAMTODAY ID — Sultan Muhammad Salahuddin sultan ke-14 Kesultanan Bima dikenal gigih menentang Belanda. Ia lahir pada 14 Juli 1889 bertepatan dengan 15 Dzulhijjah 1306 H, dan wafat pada 11 Juli 1951 di Jakarta.
Ia memerintah sejak tahun 1917 hingga 1951. Sikap anti kolonialismenya ditunjukkan dengan memperbaiki pendidikan rakyatnya hingga aktif dalam berbagai organisasi anti kolonial.
Sultan Muhammad Salahuddin diangkat menjadi Sultan Bima pada 17 Oktober 1917. Sebagai calon sultan menggantikan sang ayah ia lebih dulu dimagangkan.
Pada 2 November 1899, Majelis Hadat mengangkatnya sebagai putra mahkota atau Raja Muda. Lalu ia menjalani masa magangnya sebagai Jeneli Donggo (jabatan setingkat camat) pada 23 Maret 1908.
Tantangan terbesarnya sebagai sultan ialah pengentasan ekonomi dan berbagai masalah sosial pasca perang belasting atau pajak sejak tahun 1908 hingga tahun 1910.
Penegak Syariat Islam
Kesultanan Bima sejak awal selalu berusaha memposisikan diri anti terhadap kolonialisme Belanda. Salah satunya dengan keberpihakan mereka terhadap Kesultanan Gowa.
Akibatnya pasca perjanjian Bongaya (1667), Kesultanan Bima juga dipaksa untuk menandatangani sejumlah perjanjian secara terus menerus dengan Belanda. Hal ini juga berlanjut hingga Sultan Ibrahim, ayah dari Sultan Muhammad Salahuddin.
Sepanjang pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin banyak melakukan gerakan visioner terutama dalam hal penegakkan syariat. Sehingga salah satu pencapaian terbesarnya ialah diaktifkannya kembali peradilan agama, Mahkamah Syar’iyyah yang sudah ada sejak 14 Agustus 1788, dan sempat dibekukan Belanda.
Penerapan hukum Islam bagi Kesultanan Bima sudah mengakar kuat terutama sejak kesultanan berdiri pada 5 Juli 1640 era Sultan Abdul Kahir. Praktik itu berakhir dengan rentetan kontrak panjang yang sengaja dipaksakan Belanda (VOC) dan berdampak pada Mahkamah Syar’iyyah.
Penghapusan merupakan salah satu konsekuensi dari berbagai perjanjian licik berupa Lange Contract (kontrak Panjang) yang dipaksakan Belanda. Yakni perjanjian yang dibuat sejak era Sultan Abdul Khair Sirajudin pada 8 Desember 1669 yang terus diperpanjang hingga era Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908.
Intervensi Belanda semakin mencapai puncaknya sejak tahun 1908 dan berlanjut hingga masa Sultan Muhammad Salahuddin. Belanda mulai melakukan intervensi dengan mengubah sistem peradilan Islam menjadi sistem peradilan Belanda.
Meskipun upaya pengembalian ke peradilan agama sudah diupayakan pada tahun 1864, terutama ketika Belanda sempat menyerahkan kekuasaannya pada Inggris. Pemberlakuan sistem hukum dan pemerintahan Islam di Kesultanan Bima sejak semula terdiri atas tiga unsur.
Tiga elemen itu sepenuhnya berada di tangan ulama dan sultan. Pertama, syara-syara dipimpin oleh Ruma Bicara (Penasihat Sultan), kedua syara tua (anggota dewan) dipimpin oleh sultan, dan ketiga syara hukum oleh qadhi.
Penerapan syariat Islam kembali di Kesultanan Bima ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan No. 42 pada tanggal 4 Mei 1947, yang menandai terbentuknya Badan Hukum Syara’. Sebuah badan hukum yang khusus menangani berbagai keperluan rakyat Bima yang sebagian besar muslim seperti perkawinan, perceraian, perwakafan, hibah, kewarisan, pendidikan dan lain-lain.
Wajar jika kemudian dia memperoleh gelar Ma Kakidi Agam yang artinya Yang Menegakkan Agama. Sebab pada eranya, peradilan agama yang sempat diganti dengan peradilan Belanda, dihidupkan kembali.
Pendidikan Islam
Ketika Belanda secara paksa merubah sistem hukum dan pemerintahan di Kesultanan Bima ia memanfaatkan peluang dengan memprioritaskan pendidikan. Terutama setelah dihapuskannya lembaga hukum syara dari sistem pemerintahan oleh Belanda.
Ia bersama Ruma Bicara memanfaatkan momentum tersebut dengan memaksimalkan kembali peran pendidikan agama dan umum baik ditingkat masjid, langar maupun surau.
Pada tahun 1931, berdirilah Madrasah Darul Tarbiyah di kota Raba yang langsung dikelola oleh kesultanan, Lembaga Hukum Syara (Syara Hukum). Yang saat itu dikelola oleh Ruma Bicara, Abdul Hamid dan tokoh Muhammadiyah, Wahid Karim Muda.
Kemudian pada tahun 1934, di Bima berdirilah Darul Ulum Bima dengan tokoh pendirinya Haji Abdurahman Idris. Kedua madrasah inilah yang kemudian menjadi modal Sultan Muhammad Salahuddin dalam membangun para kader pejuang di Bima.
Eksistensi lembaga pendidikan era Kesultanan Bima pun berlanjut hingga Indonesia merdeka, melalui surat keputuan bupati tertanggal 16 Maret 1968 dengan berdirinya Yayasan Islam Bima.
Organisasi Perjuangan
Selain memperhatikan aspek pendidikan agama bagi rakyatnya, Sultan Muhammad Salahuddin juga mendukung berdirinya banyak organisasi pegerakan di Bima. Para pejabat kesultanan diperkenankan menjadi anggota Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh ulama asal Banjarmasin, Haji M. Tahir pada 1920.
Selain SI, sultan juga mendukung gerakan Muhammadiyah yang dipelopori oleh Muhammad Idris Jafar, Abdulmuthalib dan Muhammad Hasan pada 1937. Selain hadirnya dua organisasi nasional tersebut pada masa Sultan Muhammad Salahuddin berdirilah Persatuan Islam Bima.
Selain organisasi pergerakan Islam, berdiri pula komite aksi penangkapan Belanda pada Maret 1942. Hasilnya pada 5 April 1942, kekuasaan berhasil direbut dari Belanda.
Sejak saat itu Sultan Muhammad Salahuddin berkuasa penuh atas Kesultanan Bima, termasuk berusaha mati-matian mempertahankan kedaulatannya saat Jepang datang pada 17 Juli 1942.
Lalu pada masa revolusi kemerdekaan Sultan Sultan Muhammad Salahudin bersama tokoh pemuda, mendirikan organisasi Ikatan Qaum Muslimin Indonesia (IQAM) tepatnya pada tanggal 23 Maret 1948. Perjuangan mereka ditunjukan dengan kehadirannya dalam Kongres Al-Islami (Kongres Muslimin Indonesia) untuk menentang keras terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Penulis: Kukuh Subekti