“Dulu berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik melalui jalur dakwah.”
ISLAMTODAYID—Pernyataan di atas lekat dengan Perdana Menteri Indonesia Indonesia kelima, Mohammad Natsir. Terutama setelah ia menutup karir politiknya di dunia pemerintahan dan aktif di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Ijtihad politik dalam dakwah ini mulai dilakukannya sejak 17 Dzulqa’dah 1386 H/ 26 Februari 1967. Hari dimana ia dan tokoh-tokoh Masyumi bersama-sama mendirikan DDII di Jakarta.
Baginya perjuangan tidak hanya bisa ditempuh melalui jalur politik saja. Ia sekaligus menjadi teladan bahwa dakwah tidak hanya sekedar berceramah di atas mimbar.
Komitmen Keislaman Natsir
Hadi Nur Ramadhan, seorang Founder of Rumah Sejarah Indonesia pada (20/6/2020) mengatakan bahwa salah satu bekal yang membuat sosok Natsir komitmen dengan keislaman adalah kebiasaan masa mudanya tidur di surau. Pengalamannya tersebut membantunya tetap istiqomah di jalan Islam, meskipun ia telah merantau ke Bandung.
Pada 1927, Bandung telah menjadi kota hiburan yang maju dan dikenal sebagai Bandung Paris Van Java. Sebuah kota yang ditata pemerintah Belanda menjadi kota untuk destinasi wisata dan kota pelajar.
Banyak sekolah-sekolah ternama berdiri di Bandung seperti Sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS).
Kemajuan kota Bandung pun berdampak pada pola pergaulan antar pelajarnya. Mereka memiliki gaya hidup yang sangat bebas, akibat pengaruh dari budaya Barat. Namun hal ini tidak melemahkan keistiqomahan sosok Natsir, ia tetap dengan jati dirinya sebagai muslim yang taat.
“Pak Natsir, dia sudah punya pribadi, sudah punya keistiqomahan sehingga dia tidak terbawa dalam arus kehidupan liberalisasi saat itu,” tutur Hadi dalam kajian sejarah “M.Natsir dan Gerakan Dakwah di Indonesia” dari kanal Youtube PPMI Saudi TV.
Bersama A. Hasan
Hadi menambahkan karena keteguhannya tersebut ia menolak beasiswa kuliah hukum dan ekonomi di Rotterdam, Belanda. Ia memilih untuk belajar agama kepada Ahmad Hasan (A. Hasan) tokoh Persatuan Islam (Persis).
Natsir muda, yang usianya baru 22 tahun memilih setia berjuang bersama gurunya, Hasan. Ia ikut dalam menerbitkan majalah Pembela Islam pada 1929.
Ia terus melatih soft skillnya di bidang menulis dan organisasi. Berkat dukungan sang guru ia tumbuh sebagai aktivis Jong Islamieten Bond (JIB) Cabang Bandung. Bahkan ia dipercaya sebagai Ketua JIB Bandung sejak 1928 hingga 1932.
Pergaulannya yang luas membuatnya dikenal memiliki kedekatan dengan umat dan masyarakat Bandung. Kepeduliannya pada masa masyarakat membuatnya terinspirasi mendirikan sekolah dan yayasan Pendidikan Islam (Pendis) pada tahun 1932.
Politik Dakwah Era Orde Baru
Melalui DDII ia lantas megembangkan dakwah di tiga tempat yaitu masjid, pondok pesantren, dan kampus. Melalui tempat-tempat itulah diharapkan lahir generasi muslim yang paripurna yakni pribadi yang bertakwa, dan memiliki wawasan yang luas.
Sikap kritisnya terhadap pemerintah tidak pernah padam. Di masa orde baru ia kembali mengkritisi berbagai kebijaan pemerintah. Ketika rezim orde baru memanfaatkan Pancasila dan mengundang sikap keprihatinan para tokoh bangsa.
Natsir bersama dengan Kasman Singodimejo (Ketua BPUPK) terlibat dalam penandatanganan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Sebuah petisi yang membuat para kader dakwah DDII di daerah kerap menerima teror.
Hal ini diketahui berdasarkan pernyataan dari mantan stafnya, Ustadz Syuhada Bahri yang juga Mantan Ketua Umum DDII dua periode (2005-2015). Menurutnya pada da’i di daerah pun berusaha membujuk Natsir untuk bersedia menarik parafnya di Petisi 50.
Ustadz Syuhada selaku pihak yang dititipi pesan oleh para da’i daerah tak bisa berkutik untuk terus mendesak sosok Natsir.
“Terakhirnya pak Natsir mengatakan ‘Syuhada tidak mungkin saya mencabut tandatangan saya karena itu hasil istikharah saya.’ Akhirnya saya bilang baik pak kalau begitu,” ucap Syuhada dikutip dari kanal Youtube Tafaqquh Video (6/11/2017).
“Sebab saya berpikir tidak mungkin masa hasil istikharah saya lawan juga. Artinya apa, Pak Natsir itu sikap politik sekecil apapun itu melalui istikharah,” terangnya.
Buah Karya Natsir
Pada era Natsir DDII memberikan kontribusi-kontribusi penting bagi umat Islam. Mulai dari pembinaan kader da’i, pengiriman da’i untuk melawan kristenisasi, pembangunan masjid, pengelolaan masjid, pengiriman khatib, mubaligh dan pembinaan daerah terpencil.
Total masjid yang dibangun oleh DDII pada masa kepemimpinannya mencapai 168 masjid/ mushala di berbagai lokasi mulai dari perumahan, perkantoran, lokasi transmigrasi, kampus, rumah sakit hingga Lembaga Permasyarakatan (LP).
Selain proyek masjid ada juga proyek pembangunan 7 Islamic Center, 3 sekolah dan lokal belajar, 5 pesantren, 1 asrama pelajar, 2 asrama anak yatim, 1 Balai Latihan Kerja (BLK) dan poliklinik.
Proyek pembangunan masjid, mushala hingga poliklinik tersebar merata dari Sumatra Utara hingga Papua. Semua aktivitas dakwah DDII saat itu difokuskan pada perlawanan terhadap Kristenisasi.
Dalam bidang penulisan pada masa Natsir DDII telah memiliki enam produk jurnalistik. Pertama, Majalah Serial Media Da‘wah untuk kalangan terpelajar dan menengah, kedua, Majalah Suara Masjid untuk kalangan masyarakat awam yang berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadits dan lain-lain.
Ketiga, Serial Khutbah Jum‘at, yang memuat bahan-bahan khutbah Jumat untuk para da‘i dan masyarakat luas. Keempat, Majalah Sahabat bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak, kelima, Buletin Da‘wah terbit setiap hari Jumat untuk masyarakat. Berikutnya adalah Tabloid Al-Salam, yang isinya tentang masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah kegiatan sosial keagamaan.
Penulis: Kukuh Subekti