ISLAMTODAY ID — Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dikenal sosok ulama berintegritas dan memiliki semangat juang yang tinggi. Sejak awal ia menempatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai medan jihadnya demi melanjutkan perjuangan para ulama terdahulu.
Pada 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395 hasil musyawarah para ulama dari sepuluh organisasi masyarakat (Ormas) Islam (NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah) sepakat memilih Buya Hamka sebagai Ketua MUI. Sebelum terpilih, buya adalah orang yang pada awalnya menolak keberadaan MUI.
Keberterimaan umat Islam Indonesia terhadap MUI tidak lepas dari jasa Buya Hamka. Terutama seteleh ia bersedia menerima amanah menjadi Ketua MUI, tentu dengan berbagai pertimbangan.
Pentingnya MUI
Kehadiran MUI di tengah umat diharapkan mampu menjawab kerseahan umat Islam Indonesia. Sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1975 Indonesia belum memiliki lembaga khusus yang mengakomodir, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak serta kepentingan umat Islam.
Pertimbangan dan alasan Buya Hamka secara implisit diungkapkan oleh Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Adian Husaini dalam artikelnya berjudul Pidato Pertama Buya Hamka sebagai Ketua MUI (1975): Ulama Sejati Tidak Bisa Dibeli.
Dilansir dari infomu (9/8/2020) Adian mengungkapkan pendapat Buya terkait MUI sebagai sarana untuk melanjutkan estafet perjuangan ulama terdahulu. Organisasi MUI adalah medan jihad para ulama generasi penerus.
“Terbukalah bagi kita yang datang di belakang ini jalan buat meneruskan amal usaha dan jihad,” ungkap Adian mengutip pernyataan Buya Hamka.
Adian menjelaskan ghirah jihad perjuangan Buya Hamka ialah bersungguh-sungguh dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun berat untuk ditegakkan.
“Kalau iman tidak kuat gagallah usaha kita,” jelas Adian.
Adian menambahkan sebuah perumpamaan yang menarik tentang sosok ulama di mata Buya Hamka. Ulama diibaratkan seperti kue bika, ia harus berdiri secara imbang diantara pemerintah dan rakyat.
Beratnya posisi ulama membuat Buya sangat berhati-hati dalam menjalani perannya sebagai Ketua MUI. Jika tidak kuat iman sosok ulama bisa hanyut terbawa arus, bahkan yang ditakutkan olehnya ialah pernyataan ulama bisa dibeli.
“Ulama sejati waratsatul anbiyaa tidaklah dapat dibeli. Janganlah Tuan salah tafsir. Tidak Saudara! Ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sebab sayang sekali,” tutur Adian.
“Ulama telah lama terjual dan pembelinya ialah Allah!,” ujar Adian menegaskan pernyataan Buya Hamka.
Berjuang Demi Rebut Hati Umat
Senada dengan Adian, Wildan Insan Fauzi pengajar di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), juga mengemukakan posisi ulama yang diibaratkan sebagai kue bika. Sebuah pernyataan resmi Buya Hamka ketika ia resmi menjadi Ketua MUI pada 27 Juli 1975.
“Hamka sudah berusaha menyakinkan masyarakat bahwa dia akan berposisi seperti kue bika,” tulis Wildan dalam Jurnal Pendidikan dan Sejarah, UPI, Factum edisi Oktober 2017.
“Siap menampung aspirasi masyarakat dan pemerintah, dengan resiko suatu saat ditekan pemerintah ataupun masyarakat sendiri,” jelas Wildan.
Wildan terlebih dahulu menjelaskan sejumlah alasan mengapa Buya Hamka akhirnya perlu untuk menegaskan posisi MUI. MUI dibentuk di tengah-tengah kekecewaan umat Islam terhadap pemerintah Orde Baru.
Ia mencontohkan sejumlah peristiwa yang terjadi di Indonesia dan memantik kecurigaan umat Islam terhadap pemerintah. Mulai dari kasus aliran kebatinan (1957), pendirian partai PPP (1973), undang-undang perkawinan kontroversial (1973).
“Ketika pemerintah mengusulkan pembentukan MUI, maka kalangan Islam memahami kebijakan tersebut sebagai cara mengendalikan umat Islam, khususnya para ulama yang dinilai berada di balik protes terhadap RUU perkawinan dan kasus aliran kebatinan,” ujar Wildan.
Bukan hal yang mudah bagi Buya Hamka untuk bisa mengkomunikasikan keberadaan MUI kepada umat Islam. Terutama memperoleh simpati serta kepercayaan dari kalangan umat Islam.
“MUI pada awal pendiriannya sudah mulai mengalami hambatan yaitu opini negatif yang dihembuskan bahwa MUI merupakan lembaga kuasi pemerintah,” tutur Wildan.
Buya Hamka dengan tekun melakukan sosialisasi langsung kepada umat Islam. Di kancah nasional ia kerap menghadiri sejumlah event umat Islam terutama yang diadakan oleh organisasi-organisasi Islam.
“Hamka selalu memberikan kata sambutan dan disana beliau selalu menjelaskan fungsi dan tugas MUI yang selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas ulama sebagai “pewaris para Nabi,” terang Wildan.
Wildan mencontohkan berbagai upaya dan aksinyata Buya Hamka. Diantaranya acara penyambutan abad ke-15 di tahun hijriyah, menjalin persahabatan dan kerjasama dengan organisasi Islam internasional seperti konggres Risalatul Masjid Di Mekkah, festival kebudayaan Islam di London.
Selain itu Buya Hamka selama periode kepemimpinannya kerap menerima sejumlah tamu dari luar negeri. Mereka adalah sekjen kementerian wakaf Mesir (Desember 1975), Mufti Kuwait (Juni 1976), Syekh Al Azhar Kairo (Agustus 1976), utusan Muslim Korea (Agustus 1977), mufti Malasyia (Juli 1978).
“Mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh Ormas Islam di dalam negeri seperti Muktamar I wanita Islam (1975), Muktamar IV pemuda Muhammadiyah (1975), seminar Penelitian dan Pengembangan Agama yang diselenggarakan oleh Departemen Agama di Jakarta (1976), Lokakarya Penanggulangan Narkotika yang diselenggarakan Bakolak Inpres (1977), lokakarya pondok pesantren (1978),” pungkas Wildan.
Penulis: Kukuh Subekti