ISLAMTODAY ID — Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) adalah partai yang meninggalkan warisan nilai yang agung bagi para anak bangsa, terutama untuk kalangan politisi Indonesia. Hal ini terlihat dalam sikap partai dan sikap tokohnya dalam menjaga kokohnya tiang demokrasi.
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Demokrasi Terpimpin menjadi perhatian serius bagi umat Islam. Kedua isu politik ini menjadi perhatian serius Masyumi dan tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, dan Buya Hamka.
Kedua sikap politik pemerintah orde lama itu memberi pengaruh yang signifikan terhadap umat aspirasi politik umat Islam. Di satu sisi, pemerintah kembali akui Piagam Djakarta, namun pada saat yang sama umat Islam mengalami pembungkaman politik terutama dengan bubarnya Masyumi.
Detik-detik menjelang pembubaran partai Islam terbesar dan terkuat dalam pemilihan umum (Pemilu) 1955 itu buntut dari penolakan mereka terhadap gagasan Demokrasi Terpimpin. Gagasan tersebut dinilai tokoh-tokoh Masyumi sebagai bentuk penyimpangan terhadap demokrasi yang sesungguhnya.
Keluarnya Penetapan Presiden (Penpres) No.7 Tahun 1959 dengan tujuan penyederhanaan partai di Indonesia ditentang oleh Masyumi. Pemerintah dinilai tidak obyektif dalam menetapkan kebijakan tersebut.
Menyikapi berbagai polemik diatas, dua pimpinan Partai Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution menemui Bung Karno di Istana Negara pada 21 Juli 1960. Dalam pertemuan yang berlangsung sepuluh menit tersebut Bung Karno menyampaikan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh para pimpinan Masyumi.
Masyumi Menjawab
Dilansir dari jejakislamnet (31/12/2020) pimpinan Masyumi menjelaskan poin-poin pertanyaan serta jawaban mereka. Ada tiga poin pertanyaan, yang ketiga-tiganya secara tegas dibantah Masyumi.
Begy Rizkiansyah dalam tulisannya lebih dulu menjelaskan dua poin pertama mengenai sikap Masyumi terhadap dasar negara. Pada kesempatan tersebut Masyumi mengemukan bahwa tujuan Masyumi selaras dengan UUD 1945 dan tidak ada rencana untuk merombak dasar negara.
“….Masyumi juga menolak disebut berusaha merombak azas dan tujuan negara, karena hal tersebut bertentangan dengan azas Masyumi sesuai tafsir azas partai yang disahkan pada tahun 1952,” kata Begy.
Poin selanjutnya yang menjadi pertanyaan Bung Karno ialah tentang aksi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) serta keterlibatan para tokoh Masyumi. Pertanyaan ini pun mampu dijawab dengan cerdas oleh para pimpinan Masyumi.
Pimpinan Masyumi mengungkapkan bahwa pasca diberlakukannya Penpres tersebut pada 31 Desember 1959, para tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, dan Faqih Usman memutuskan keluar dari kepengurusan partai. Secara legal para pengurus yang memimpin partai ialah mereka yang terpilih dalam Kongres April 1959.
“Tak seorang pun para pemimpin partai yang dipilih sejak kongres pada bulan April 1959 terlibat dengan PRRI. Partai Masyumi juga pada 17 Februari 1958 telah mengeluarkan pernyataan bahwa pembentukan PRRI, Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusional,” tutur Begy.
Begy menuturkan sikap pimpinan Masyumi yang cenderung taat hukum itu bertolak belakang dengan rezim pemerintahan Orde Lama. Meskipun secara legal para tokoh Masyumi tidak melakukan kesalahan namun sikap tertib hukum mereka rupanya tidak direspon dengan baik.
Pada 17 Agustus 1960, para pimpinan Masyumi menerima surat Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 Tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Masyumi. Para pimpinan Masyumi diberikan batas waktu hingga 30 hari terhitung sejak diterimanya surat tersebut pada 17 Agustus 1960.
“Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak, maka partai Masyumi akan diumumkan sebagai ‘Partai Terlarang’,” jelas Begy.
Dengan pertimbangan yang masak untuk menghindarkan Masyumi dari stigma ‘Partai Terlarang’ maka pada 13 September 1960, Masyumi membubarkan diri. Namun empat hari sebelum pembubaran, Masyumi dan kuasa hukumnya Mohammad Roem menggugat Presiden.
“(Presiden dinilai) telah melanggar UUD 1945, oleh karena itu Penpres tersebut tidak sah. Tiap Tindakan yang didasarkan atas Penpres merupakan suatu Tindakan yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang juga bisa digolongkan penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir),” ungkap Begy.
“Namun gugatan ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah” terangnya.
Kekecewaan Bung Karno
Sementara Insan Fahmi Siregar dalam Jurnal Sejarah Universitas Negeri Semarang, Paramita edisi Januari 2011 mengemukakan tentang penyebab perseteruan Bung Karno dan Masyumi. Menurutnya semuanya berawal dari kekecewaan Bung Karno terhadap sistem parlementer.
Pasalnya sistem parlementer yang berjalan sejak tahun 1950 sesuai ketentuan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) untuk kesekian kalinya membuatnya kecewa. Pertama ketika Perdana Menteri Pertama dalam sistem Parlementer, Mohammad Natsir lebih didukung kabinet dalam hal pengembalian Irian Barat.
“Dari 17 anggota kabinet, 5 suara mendukung Sukarno, sementara 12 suara lainnya memilih jalur diplomasi sebagaimana usul M.Natsir,” ungkap Insan Fahmi.
Kesepakatan Kabinet Natsir untuk melanjutkan penyelesaian lewat jalur diplomasi di Konfrensi Meja Bundar (KMB), membuat Bung Karno merasa kecewa.
“Sukarno sangat kecewa terhadap keputusan kabinet yang tetap menjalankan jalur diplomasi dalam menyelesaikan Irian Barat,” jelasnya.
Upaya demokratis Natsir dalam mengambil keputusan kabinet melalui jalur voting dinilai Bung Karno telah melukai wibawanya sebagai presiden. Bung Karno menilai kedudukannya sebagai presiden tidak lebih dari sekedar stampel karet.
“Pernyataan Sukarno ini menunjukkan bahwa hubungan pribadi antara Sukarno dengan Natsir mulai memburuk,”.
Meskipun sesungguhnya keputusan Natsir mengambil voting adalah bentuk toleransinya kepada Bung Karno. Sebab sesuai dengan amanah UUDS segala keputusan pemerintahan berada sepenuhnya di tangan perdana menteri bukan presiden.
“Natsir tetap menghargai pendapat Sukarno. Oleh karena itu dengan jiwa demokratis Natsir mengambil keputusan untuk melakukan pemungutan suara dalam mengakhiri perbedaan pendapat itu,” terang Insan Fahmi.
Kekecewaan berikutnya ialah pada saat Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957). Pada saat itu Bung Karno kecewa dengan tidak dimasukannya PKI dalam kabinet.
“Sukarno kecewa dan marah karena tidak mengikutsertakan PKI dalam kabinet. Ali menjawab “tidak mungkin membentuk kabinet koalisi dengan PKI, karena NU dan Masyumi menolak PKI. Bahkan orang-orang yang berbau komunis saja mereka menolak”.
Untuk mengakhiri kekecewaanya itu mulailah ia kenalkan konsep ‘Demokrasi Terpimpin’ pada 21 Februari 1957. Sebuah konsep yang pada tahun 1959 banyak ditolak oleh para tokoh Masyumi sebab dinilai hanya sebagai alat bukan demokrasi yang sesungguhnya.
Pendapat inilah yang disampaikan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Demokrasi terpimpin tak lebih dari sekedar alat yang digunakan oleh pemerintah.
“Tampaknya, demokrasi terpimpin namanya pada lahir. Adapun hakekatnya adalah demokrasi fungsional … membulatkan kuasa pada presiden,” tutur Insan mengutip pernyataan Hamka dari buku Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II.
Penulis: Kukuh Subekti