ISLAMTODAY ID — Tokoh intelektual muslim Indonesia memiliki beragam latar belakang. Ada yang memang tumbuh di lingkungan yang sangat religius seperti Buya Hamka, namun ada juga yang tumbuh dari kalangan biasa saja seperti H M Rasyidi.
Salah satu tokoh pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) ini memiliki nama asli Karsidi, lahir di Kotagede, Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1915 M bertepatan dengan 4 Rajab 1333.
Ia wafat di Jakarta pada 30 Januari 2001, jenazahnya dimakamkan di kota kelahirannya Kotagede, Yogyakarta.
Kisah mantan Menteri Agama pertama RI ini diceritakan langsung oleh mantan mahasiswanya Prof. Yusril Ihza Mahendra pada Senin (12/4). Siapa sangka jika hubungan dosen dan mahasiswa ini bermula dari sebuah artikel di majalah.
Yusril mengisahkan pertama kali dirinya mengenal sang guru ketika ia masih berstatus sebagai pelajar SMP di Bangka Belitung. Saat itu nama HM Rasyidi tertera dalam sebuah artikel berita singkat di majalah Pedoman Masyarakat edisi tahun 1938.
“Tahun 70-an ketika saya SMP, di situ (Pedoman Masyarakat) ada berita kecil menyebutkan bahwa seorang putera Indoensia berasal dari Mataram jadi istilah Yogya pada waktu itu Mataram, namanya Rasyidi,” kata Yusril lewat kanal youtube Pondok Pesantren Budi Mulia Official (12/04/2021).
“Mendapat gelar BA (Bachelor of Arts) dari Universitas Kairo, itu jadi berita pada tahun 1938 di sebuah majalah yang terbit di Medan,” imbuhnya.
Hingga akhirnya keduanya dipertemukan di Jakarta ketika Yusril mengambil studi di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI). Saat itu HM Rasyidi merupakan salah satu dosen di FH UI yang mengajar tentang Lembaga-Lembaga Islam dan Hukum Islam.
Mantap Memilih Islam, Murid Syekh Ahmad Surkati
Salah satu kisah yang menarik yang diungkapkan oleh Yusril ialah ketika berbicara tentang kehidupan keberagamaannya. Sebuah kisah yang juga ditulis sendiri oleh HM Karsyidi dalam bukunya yang berjudul Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam pada tahun 1978.
Salah satunya tentang sahabatnya yang memilih murtad setelah memperoleh beasiswa dari gereja Katolik.
“Pada waktu itu beliau cerita tentang sahabatnya bernama Central karena tertarik orang tuanya itu dengan Central Sarekat Islam (CSI). Pada waktu itu karena sangat miskin lalu diberi beasiswa oleh gereja Katolik dan menjadi doktor,” tutur Yusril.
“Ternyata setelah bertemu (lagi), ternyata doktor Central itu sudah beragama Katolik,” ucap Yusril.
Lewat buku yang ditulisnya itulah HM Rasyidi menjelaskan alasan mengapa ia tetap memilih Islam sebagai agamanya. Selain itu ia juga meriwayatkan bagaimana latar belakang kehidupan agama di keluarga besarnya di Kota Gede, Yogya.
“Menceritakan latar belakang kehidupan beliau di Kota Gede yang sebetulnya masyarakat sangat sinkretis antara kebatinan Jawa dan Pak Rasyidi lahir dari keluarga seperti itu tapi disekolahkan di Sekolah Muhammadiyah,” ungkap Yusril.
Setamat dari Kweek School (Sekolah Guru) Muhammadiyah, HM Rasyidi meminta izin orang tuanya untuk belajar ke Syekh Ahmad Surkati. Seorang ulama asal Sudan, Afrika Utara yang mendirikan lembaga pendidikan bernama Al-Irsyad di Lawang, Malang, Jawa Timur.
HM Rasyidi pun menjadi salah satu murid kesayangan. Sebab Syekh Surkatilah orang yang akhirnya ‘mengganti’ nama Karsidi menjadi Rasyidi seperti yang kita kenal sekarang.
“Nama Jawa tapi selalu Syekh Sukarti bingung untuk menyebut nama Karsidi itu, jadi Syekh Ahmad Sukartilah memanggil beliau itu Rasyidi,” jelas Yusril.
Sarjana Filsafat Yang Mengkritik Aliran Kepercayaan
Usai menamatkan pendidikannya di Al-Irsyad, dia terus melanjutkan sekolahnya ke Kairo Mesir. Di sana dia masuk ke Fakultas Filsafat dan Agama di Universitas Kairo, Mesir.
HM Rasyidi adalah orang Indonesia pertama yang mengambil jurusan filsafat. Ketika itu jurusan filsafat belum banyak dikenal orang. Ia bahkan merupakan mahasiswa angkatan pertama di Universitas Kairo bersama tujuh orang lainnya.
“Pak Rasyidi adalah orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar akademik di bidang filsafat dari Kairo,” ujar Yusril.
Yusril pada kesempatan itu juga menjelaskan sikap kritis HM Rasyidi terhadap filsafat kejawen terutama yang ditulis dalam naskah-naskah Jawa. Pandangan kritisnya terhadap filsafat kejawen, dan kebatinan jawa ditunjukannya dalam disertasinya tentang Serat Centhini.
“Pada tahun 1956 itu, Pak Rasyidi mempertahankan disertasinya di Universitas Sorbonne (Prancis) juga di bidang filsafat dan menulis tentang kritik terhadap Kitab Centhini,” ungkap Yusril.
Menurut penuturan Yusril, HM Rasyidi bisa ditarik kesimpulan bahwa ia merupakan sosok yang sangat concern terhadap naskah-naskah Jawa. Hal ini pun diakui oleh Yusril sebagai salah satu mahasiswanya, ia kerap diminta melakukan kajian serupa.
Yusril yang bukan orang Jawa tentu mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami naskah-naskah Jawa tersebut. Namun dia pun tak bisa menolak permintaan sang guru.
“Sempat saya disuruh baca buku-buku (Jawa) mulai dari Wulangreh, Kitab Wedhatama, Kitab Centhini bahkan sempat membaca Kitab Gatoloco, Dharmogandul dan segala macem yang isisnya itu aneh-aneh dan itu dikritik keras oleh HM Rasyidi,” kata Yusril.
HM Rasyidi merupakan ilmuwan muslim modern pertama di Indonesia yang menekuni ilmu filsafat. Sebagai orang Jawa ia bahkan tidak segan-segan memberikan pandangan kritisnya terhadap filsafat Jawa dan kebatinan Jawa.
HM Rasyidi adalah tokoh yang dengan sangat lantang memberikan kritiknya terhadap banyaknya aliran kepercayaan yang saat itu sedang banyak berkembang. Buya Hamka bahkan banyak merujuk pada buku-buku karya HM Rasyidi ketika berbicara tentang aliran kepercayaan.
“Ketika ramai-ramai aliran kepercayaan tahun 1978, Pak Rasyidilah yang mengkritik kebatinan Jawa itu dan sebagian besar tulisan buya Hamka ketika menanggapi aliran kepercayaan merujuk pada tulisan-tulisan pak Rasyidi,” jelas Yusril.
Kiprah Dakwah & Politik
Yusril menuturkan beberapa aktivitas penting HM Rasyidi di luar kegiatan belajar-mengajar. HM Rasyidi pernah tercatat aktif di Partai Islam Indonesia (PII), dibawah pimpinan Dr. Sukiman Wiryosanjoyo.
Selain di PII, HM Rasyidi sempat aktif di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Sebuah organisasi yang dibubarkan pada November 1943, lalu digantikan dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) era pendudukan Jepang.
Pada waktu Indonesia merdeka kiprahnya di dunia politik makin banyak. Ia merupakan Menteri Agama pertama di Indonesia, sebelumnya jabatan ini bernama Menteri Kepercayaan.
Selain menjadi menteri agama, ia juga sempat beberapa kali menjadi duta besar Indonesia untuk beberapa negara seperti Mesir, Afghanistan, Pakistan. Bahkan ia tercatat dalam rombongan delegasi Indonesia yang pertama bersama Haji Agus Salim pada tahun 1947.
HM Rasyidi selain menjadi tokoh nasional juga menjadi tokoh muslim dunia. Ia tercatat pernah menjadi Direktur Islamic Studies di Washington.
Penulis: Kukuh Subekti