ISLAMTODAY ID — Imam Abu Hanifa atau Imam Abu Hanifah memiliki nama lengkap Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha Al-Taimy. Seorang ulama yang lahir di Kota Kufah, Irak pada tahun 80 H atau 699 M, kurang lebih 67 tahun setelah Rasulullah Muhammad wafat.
Ia wafat di Kota Baghdad, Irak pada tahun 150H/ 767M. Ulama pendiri madzhab Hanafi ini hidup pada akhir masa Khalifah Ummayyah hingga awal masa Khalifah Abbasiyah.
Imam Abu Hanifah lahir ketika umat Islam tengah menggelorakan semangat menghafal hadist dan Al-Qur’an sebanyak mungkin. Sebab umat Islam baru saja kehilangan 1200 hafiz Qur’an yang gugur dalam peristiwa Perang Yamamah.
Perang tersebut terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar untuk melawan gerakan murtad massal yang dipimpin oleh nabi palsu, Musailamah Al-Kassab. Tepatnya pada Desember 632M kurang lebih enam bulan setelah wafatnya Rasulullah pada 8 Juni 632M.
Pendiri madzhab Hanafi ini pun layak menjadi sumber rujukan di bidang fikih. Ia tumbuh menjadi sosok pembelajar sejati, ia mempelajari berbagai ilmu diantaranya qira’at, hadis, nahwu, sastra, syi’ir, teologi dan ilmu lainnya yang sedang berkembang pada masa-masa tersebut.
Hal ini kemudian mendorongnya menjadi sosok pemikir yang mengedepankan pendekatan yang berdasarkan atas nalar atau rasio. Atas kecerdasannya ini ia pun menjadi ulama pelopor di bidang qiyas dalam pengambilan hukum Islam.
“Dia (Imam Abu Hanifah) mengandalkan pendekatan rasional terhadap masalah-masalah. Dia adalah pelopor qiyas sebagai faktor penting dalam membangun hukum Islam dan ijma’ dari umat sebagai sumber hukum Islam,” kata M. Atiqul Haque lewat bukunya Seratus Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia.
Atiqul mengungkapkan bukan hal yang mudah bagi Imam Abu Hanifah dalam memperjuangkan gagasan dan pemikirannya dalam hal qiyas dan ijma. Sebab ia juga dihadapkan dengan adanya pertentangan, namun akhirnya pemikirannya pun diterima oleh umat.
“Karena kontribusinya untuk pemikiran (mahzab) Hanafi, maka umat Islam bisa menggabungkan pedoman yang benar dari Syariah dengan penalaran yang benar dan beralasan,” ujar Atiqul.
Penulis Revolusioner Pertama Islam
Atiqul menambahkan bahwa Imam Abu Hanifah semasa hidupnya ialah sosok penulis revolusioner pertama bagi dunia Islam. Ia banyak melahirkan karya berupa kitab-kitab yang berjudul: (1) Kitab as-Salah, (2) Kitab al-Manasik, (3) Kitab bar-Rahan, (4) Kitab ash-Shurut, (5) Kitab al-Fara’id, (6) Kitab al alim wa’l mutallim, (7) Kitab at-‘Asrar, (8) Kitab ar-Risala, (9) Kitab al-Irja’ (10) Kitab al-Wasiya, (11) Kitab Radd ‘alal awzah, (12) Kitab ar-Ra’y, (13) Kitab al-Ikhtilaf as-Sahaba, (14) Ikhtilaf Abi Hanifa we Abu Layla, (15) Kitab al-Jami’, (16) Kitab as-Siyar, (17) Kitab al-Awsat, (18) Kitab Fiqh al-Akbar, (19) Kitab Fiqh al-awsat, (20) Kitab ar-Radd ‘alal-Qadiriyya, (21) Kitab Risala to Uthman al-Batti. Selain menuliskan kitab-kitab, karya tulis Imam Abu Hanifah juga terdapat dalam ratusan surat dan pamflet.
Atiqul menuturkan selain memiliki ribuan karya tulis orisinil ia juga sosok ulama muslim yang mempunyai banyak sekali murid. Murid-muridnya pun menjadi ulama yang terkemuka dalam dunia Islam.
Diantara tiga muridnya yang terkenal ialah Muhammad, Abu Jusuf dan Ja’far. Mereka bertiga bersama 37 muridnya lain mendirikan sebuah komite yang terdiri atas para ahli hukum yang membuat sebuah mahakarya Yurisprudensi Islam.
Berkat ketekunan 40 murid-murid Imam Abu Hanifah dalam melakukan riset dan penelitian selama kurang lebih 30 tahun lamanya lahirlah ensiklopedi hukum Islam. Namun sayang sebuah insiden pembakaran di Baghdad pada tahun 1258 membakar karya monumental ini.
Kisah tragis ini dikisahkan oleh seorang penulis berkebangsaan Eropa bernama Sir John Bagot Glubb. Berikut keterangan Sir John tentang insiden kebakaran di Hulugu, Baghdad seperti yang disalin langsung oleh Atiqul:
“Kota itu dijarah, dirusak dan dibakar. Delapan ratus ribu orang dikabarkan tewas. Khalifah Mustasim dimasukan ke dalam karung dan diinjak-injak sampai mati oleh kaki-kaki kuda Mongol. Selama 500 tahun, Baghdad merupakan kota dengan istana-istana, masjid, perpustakaan, dan universitas. Universitas dan rumah sakitnya sampai sekarang terus mengikuti perkembangan zaman di dunia. Tak ada lagi yang tersisa di masa kini kecuali tumpukan puing-puing dan bau busuk daging manusia yang membusuk.”
Ahli Hukum Yang Berprinsip
Atiqul mengisahkan semasa hidupnya Imam Abu Hanifah ialah sosok yang memegang prinsip.Ia lebih memilih menerima hukuman mati dengan cara dipukul bahkan diracun daripada harus takluk pada pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur dari dinasti Abbasiyah.
“Dia lebih memilih kematian daripada takluk pada tekanan untuk menerima tawaran mereka atau menerima suap berupa jabatan Mahkamah Agung dalam kekhalifahan,” ujar Atiqul.
“Dialah yang memisahkan pengadilan dan hukum dari pemerintahan dan dialah yang menjadi martir pertama untuk kedilan dan persamaan,” jelasnya.
Dilansir dari republika (21/2/2021) Imam Abu Hanifah mengemukakan sejumlah alasan mengapa ia menolak jabatan sebagai hakim di Mahkamah Agung.
Suatu ketika seorang ahli fikih bernama Abdullah bin Farukh al-Farisi menanyakan alasan mengapa Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut. Ia justru lebih memilih 10 hukuman cambuk per hari dibanding jabatan.
Mendengar pertanyaan tersebut Imam Abu Hanifah menjawab dengan sangat bijak. Tak lupa ia mengemukakan tiga alasannya.
“Pertama, orang yang bisa berenang dengan baik maka akan berada di laut dalam waktu yang lama. Lambat-laun dia akan kelelahan dan tenggelam. Kedua, orang yang hanya bisa berenang maka setahun kemudian dia akan tenggelam. Ketiga, orang yang tidak bisa berenang, menceburkan dirinya ke dalam air, lalu dia pun segera tenggelam,” jawab sang Imam.
Penulis: Kukuh Subekti