ISLAMTODAY ID — Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) merupakan putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid. Ia merupakan khalifah ke-VII Dinasti Abbasiyah.
Khalifah Al-Makmun lahir pada 15 Rabi’ul Awal 170 H/14 Sepetember 786 M. Ia wafat pada 18 Rajab 218 H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M.
Ia seorang khalifah yang berkuasa selama 20 tahun lamanya, ia dikenal sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Pada masanya berbagai bidang ilmu pengetahuan maju pesat misalnya dalam dunia kesehatan dengan berdirinya sekolah kedokteran. Ditambah lagi perlakuaan khalifah terhadap Baitul Hikmah atau Darul Hikmah.
Sebuah perpustakaan yang didirikan oleh mendiang ayahnya Khalifah Harun Ar-Rasyid. Maka wajar jika ilmu pengetahuan berkembang pesat mulai dari ilmu tafsir Al-Qur’an, hadis, fiqh, Ilmu astronomi, matematika, kedokteran, farmasi, geografi, ilmu kalam, sejarah dan sastra.
Atiqul Haque dalam bukunya Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia mengungkapkan bagaimana sinergisitas kemajuan ilmu pengetahuan bagi kemajuan kota Baghdad.
Ia bahkan mengutip sebuah pernyataan seorang seorang tentara Inggris yang menekuni sejarah Timur Tengah John Bagot Glubb dalam bukunya berjudul Story of the Arab Legion.
John Bagot Glubb menggambarkan dengan gambling bagaimana tingkat kemajuan dunia kesehatan di Kota Baghdad pada masa Daullah Abbasiyah. Salah satunya dengan berdirinya sebuah sekolah khusus kedokteran.
“Pada masa Ma’mun, sekolah kedokteran sangat aktif di Baghdad. Rumah sakit umum gratis pertama dibuka di Baghdad di masa Kekhalifahan Harun ar-Rasyid. Saat sistem telah berkembang, dokter dan ahli bedah ditunjuk untuk memberi kuliah bagi mahasiswa kedokteran dan mengeluarkan diploma bagi mereka yang dianggap memenuhi syarat untuk membuka praktik,” ungkap Glubb.
Situasi lain yang menggambarkan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan di Baghdad juga diungkapkan oleh Prof. Raghib as-Sirjani dalam bukunya berjudul Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.
hwa Khalifah al-Ma’mun pada masanya dijelaskan selain menjabat sebagai kepala pemerintahan juga menjadi Direktur Baitul Hikmah. Meskipun untuk pekerjaan teknis dia dibantu oleh Said bin Harun dan Hasan bin Marar Adz-Dzabi.
Kepedulian sang khalifah untuk ikut memperhatikan dunia perpustakaan rupanya mengantarkan Perpustakaan Baitul Hikmah tersebut menjadi perpustakaan terbesar di dunia pada masa itu.
Dari tiga perpustakaan terbesar, Baitul Hikmah di Baghdad berada di urutan pertama, lalu diikuti oleh Kairo dan Cordova. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Al-Qalqasyandi dalam kitabnya yang berjudul Shahabul A’sya, “Koleksi buku yang paling besar dalam Islam ada tiga. Salah satunya adalah koleksi Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di sana terdapat buku-buku yang tidak diketahui berapa banyaknya, dan tidak ada yang dapat menyamai keelokannya…”
Dari perpustakaan Baitul Hikmah inilah lahir ilmuwan-ilmuwan besar muslim seperti Al-Khawarizmi (pencipta ilmu aljabar), Ar-Razi (ilmuwan di bidang kedokteran), Ibnu Sina (Bapak pengobatan modern), Al-Biruni (Matematikawan), Al-Batani (Ahli Astronomi), Ibnu Nafis (Penemu Peredaran Darah), dan Al-Idrisi (Pakar Geografi).
Pengembangan Baitul Hikmah Baghdad
Prof. Raghib melanjutkan penjelasannya terkait elemen-elemen penting diablik majunya ilmu pengetahuan pada masa Khalifah Al-Makmun. Ia menjelaskan tentang upaya khalifah dalam menambah koleksi buku di Baitul Hikmah.
Khalifah melakukan berbagai cara mulai dari membeli buku hingga mengirim utusan, duta kepada penguasa lain agar bersedia memberikan koleksi buku atau kitabnya kepada sang utusan kekhalifahan.
Kisah ini terjadi ketika khalifah mengirim utusannya untuk membeli buku ke Konstantionpel. Selain membeli cara khalifah menambah koleksinya ialah dengan cara mengutus para utusan Islam ke negeri-negeri asing lalu menerima jizyah (pembayaran pajak) dengan menggunakan buku.
Kecintaannya terjadap buku dan ilmu pengetahuan membuat jumlah koleksinya tak bisa di dihitung jumlahnya. Ia melakukan berbagai cara termasuk dengan melakukan penerjemahan.
“Sebagaimana dengan memenuhi seratus naskah, syarah dan menerjemahkan dari segala bahasa untuk memindahkan buku dari bahasanya yang asli. Demikian juga dengan tulisan begitulah perpustakaan ini mendapatkan buku-buku yang berbeda-beda dan bermacam-macam sampai tidak bisa dideteksi karena banyaknya, yang belum pernah ada jumlah dan macam bukunya sebelum itu,” ungkap Prof. Raghib.
Prof. Raghib menambahkan kisah tentang adanya pengiriman utusan, duta khusus untuk menemui raja Romawi. Khalifah meminta izin untuk melakukan pengkajian terhadap ilmu-ilmu kuno yang ada di kerajaan Romawi.
Rombongan utusan khalifah yang terdiri atas para penerjemah dan duta-duta keilmuan lainnya berangkat ke Romawi.
Khalifah Al-Ma’mun juga melakukan pengiriman utusan khusus ke Bizantium untuk mengumpulkan ragam manuskrip yang termasyhur untuk diterjemahkan ke bahasa Arab. Penghormatannya akan ilmu ia tunjukan juga ketika Bizantium telah tunduk di bawah kekuasaan Islam.
Ia tidak melakukan penjarahan karya intelektual milik Bizantium melainkan meminta hasil kopiannya kepada raja Bizantium.
Prof. Raghib menambahkan bahwa khalifah juga melakukan revolusi besar-besaran terhadap aktivitas penerjemahan kitab-kitab kuno. Pada masa itu terbentuklah badan penerjemah dan pensyarah.
Tidak hanya itu, khalifah juga menentukan siapa yang menjadi penanggungjawab dalam aspek penerjemahan kitab-kitab. Ia memberikan upah yang layak kepada mereka.
“Ia (Al-Ma’mun) menentukan penanggungjawab dalam urusan ini pada setiap bahasa sebagai pengawasan terhadap siapa yang menerjemahkan buku-buku kunonya, memberikan gaji kepada mereka dengan gaji yang besar. Setiap bulan mereka digaji 500dinar atau setara dengan dua kilo gram emas,” ungkap Prof. Raghib.
Selain memberikan perhatian penuh pada dunia literasi, ia juga memberikan perhatiannya pada pengembangan ilmu sains. Pada masa kekuasaan Khalifah Al-Ma’mun ia membangun Menara falak (astronomi) disebuah tempat Asy-Syamsyiah, dekat Baghdad. Pendirian Menara Astronomi (observatorium) memiliki tujuan agar para penuntut ilmu di Baghdad bisa mempraktikan teori-teori ilmiahnya.
“Menara astronomi ini juga digunakan oleh para ilmuan astronomi, geografi dan matematika seperti Al-Khawarizmi, anak-anak Musa bin Syakir, juga Al-Biruni. Di sela-sela menara tersebut, Al-Mamundapat membedakan para ilmuan tersebut untuk menghitung peredaran bumi,” tulis Prof. Raghib.
Penulis: Kukuh Subekti