ISLAMTODAY ID — Pers era Hindia Belanda memiliki peranan penting dalam merekam peristiwa mewabahnya berbagai penyakit mematikan pada masa lalu. Keberadaan wabah seperti kolera, pes, tifus, hingga flu spanyol menjadi isu-isu aktual dalam pemberitaan masa itu.
Salah satu lembaga pers yang dimaksud adalah Koran Sinar Hindia edisi 10 dan 18 Agustsu 1918, melalui artikelnya yang berjudul Siapakah Jang Soeka Roegi?. Artikel tersebut diantaranya membahas tentang berbagai kebijakan pemerintah di tengah-tengah wabah pes dan kolera.
Ada dua isu utama yang dimuat dalam artikel mereka pertama ialah sikap abai pemerintah terhadap kualitas gizi makanan. Pemerintah dinilai lebih berpihak kepada kaum pemodal atau pengusaha yang menjual makanan yang tidak layak konsumsi itu.
Kedua mereka menjelaskan tentang buruknya penanganan pasien dan keluarga pasien yang terinfeksi wabah. Keadaan ini sangat menyayat hati bagi seluruh rakyat Hindia Belanda terutama dari kalangan muslim.
Susu dan Biskuit Afkir
Dikutip dari Skripsi Konten Artikel-Artikel Dalam Koran Sinar Djawa Dan Sinar Hindia Tahun 1917-1918 karya Irvan Hidayat tahun 2020. Irvan dalam skripsinya tersebut salah satunya membahas tentang artikel kesehatan yang terbit dalam koran Sarekat Islam (SI) Semarang edisi 10 Agustus 1918.
Surat kabar yang awalnya bernama Sinar Djawa ini resmi menggunakan nama baru ‘Sinar Hindia’ pada 1 Mei 1918 menyediakan rubrik khusus tentang kesehatan. Sebuah rubrik yang belum dimuat dalam Sinar Djawa.
Irvan mengemukakan tentang buruknya kualitas gizi makanan yang sengaja dijual-belikan oleh pedagang Belanda. Terutama yang berasal dari susu dan biskuit afkir atau sisa yang sudah tidak layak konsumsi.
“Kapitalis Belanda menjual makanan afkir seperti susu dan biskuit di toko-tokonya, sungguh tindakn itu sangat merugikan bagi siapapun yang memakanya karena akan mendatang penyakit,” kata Irvan.
Irvan menjelaskan lebih lanjut bahwa penjualan makanan sisa tersebut terlihat seperti mendapat dukungan dari pemerintah. Situasi ini semakin mengerikan ketika kemudian rakyat Hindia Belanda dihadapkan pada wabah kolera.
“Tindakan yang sangat apalagi saat wabah kolera datang bangsa Bumiputera pun sering kena imbasnya karena dilarang berdagang buah-buahan,” tuturnya.
Irvan menambahkan dari artikel di Koran Sinar Hindia itu disebutkan bahwa masalah serupa pernah dibahas oleh koran berbahasa Belanda berbasis di Batavia, Het Nieuws Van Den Dag No. 302 dd 22 Desember 1917. Dalam artikelnya mereka mengingatkan agar pemerintah menghentikan praktik penjualan makanan afkir yang hanya layak dikonsumsi oleh babi.
“Boenjinja, ‘Siapakah jang soeka beli makanan jang berbahoe dan keloear tjajingnja, sedang soengggoehnja boeat makanan babi sadja tidak patoet.’ Diakhir penulis memeohon kepada pemerintah agar dilenyapkan para kapitalis itu dari mukabumi,” terang Irvan mengutip artikel di Sinar Hindia yang ditulis oleh Soemardi.
Buruknya Kebijakan Belanda
Artikel berikutnya ialah terbitan Sinar Hindia edisi 18 Agustus 1918 dengan judul Orang Djawa di sia–sia! Orang mendatang pada senang! yang ditulis langsung oleh S. Partoatmodjo (Redaktur Sinar Hindia). Sebuah artikel yang di dalamnya membahas tentang buruknya respon dan penanganan pemerintah kolonial terhadap wabah pes dan kolera.
Sikap dan tindakan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu dinilai sangat tidak manusiawi. Misalnya ketika seseorang sakit dan dibawa ke stadsverband atau rumah sakit ataupun barak dengan perawatan yang kurang memadai.
Belum lagi jika seseorang yang terpapar wabah itu meninggal dunia makan keluarganya dilarang untuk mengambil dan mengurus jenazahnya. Padahal di saat yang sama petugas medis pemerintah tidak memahami bagaimana penanganan jenazah seorang muslim.
“Saat anggota kelurga wafat baik itu di perkotaan (Stadsverband) atau di barak, keluarganya tidak diperbolehkan mengambil mayat karena mayat akan diurus. Sayangnya sedikit dari mereka yang paham cara mengubur dalam Islam,” ujar Irvan.
Irvan mengungkapkan pasca munculnya wabah penyakit pes dan kolera, kehidupan rakyat khususnya umat Islam di Jawa sangat memilukan. Warga Semarang dibuat kalang kabut dengan situasi dan perlakuan pemerintah kolonial Belanda.
“Maka sedjak timboelnja matjam-matjam penjakit di Hindia, maka orang-orang Djawa kromo djoga pendoedoek Semarang mendjadi kalang kaboet, jaitoe lantaran kekerasan atau pendjagaan keselamatan oemoem,” jelas Irvan.
Penulis: Kukuh Subekti