ISLAMTODAY ID—Kehadiran Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1942-1953) dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 memiliki peran sangat penting. Ia adalah sosok sentral dibalik pengesahan dasar negara Pancasila dan konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Peran Ki Bagus dimulai ketika menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Ia adalah salah satu pihak yang ikut urun rembug dalam pidato konsep dasar negara pada sidang BPUPK yang berlangsung sejak 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Jasa besar Ki Bagus dalam menjaga keutuhan negara Indonesia dalam perjalanan sejarahnya terkesan dihapus. Mulai dari hilangnya naskah pidato dari buku Risalah Persidangan PPKI hingga tersisihnya ia dari Panitia Sembilan.
Kebesaran Hati Ki Bagus Hadikusumo
Kebijaksanaan sikap Ki Bagus pada tanggal 18 Agustus 1945, menunjukkan kebesaran hatinya di tengah pergolakan ide dan gagasan dasar negara. Sebab detik-detik menjelang pengesahan dasar negara dan UUD 1945 benar-benar menegangkan.
Wakil nasionalis terus menerus mendesak wakil Islam untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Djakarta. Salah satunya desakan datang dari kelompok Nasrani yang mewakili daerah Indonesia Timur yang pada waktu itu disertai dengan ancaman melepaskan diri dari Indonesia.
Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Adian Husaini mengungkapkan ikhwal kegentingan yang terjadi pada sidang PPKI di hari Sabtu itu. Bagaimana aksi lobi-lobi Mohammad Hatta yang khawatir jika perdebatan terus terjadi akan memicu perpecahan yang dimanfaatkan oleh pihak kolonial.
Demi menjaga persatuan dan kesatuan antar sesama anak bangsa inilah, Ki Bagus luluh dan membiarkan tujuh kata Piagam Djakarta dihapus. Baginya situasi saat itu teramat sulit, dan darurat.
“Sampai akhirnya Ki Bagus Hadikusumo, ya sudah ini memang darurat situasinya yang penting kita merdeka, kita bersatu jangan pecah,” ungkap Adian Husaini dalam kanal Youtube Dewan Da’wah Official pada 22 Juni 2021.
Naskah Pidato Hilang
Ia mendapat giliran pidato lebih dulu daripada Bung Karno, yakni pada tanggal 31 Mei 1945. Fakta sejarah inilah yang raib dari dokumentasi resmi negara.
Pidato Ki Bagus tidak dimuat dalam buku Risalah Sidang BPUPK dan PPKI terbitan 1992 dan 1995. Fakta inilah yang sangat disayangkan oleh salah seorang mantan aktvis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta, Lukman Hakiem.
“Antara 29 Mei sampai 1 Juni, mulai sidang 29 Mei sampai 1 Juni 1945 itu banyak sekali orang berpidato, ada Ahmad Subarjo, ada AR Baswedan, ada Agus Salim, termasuk Ki Bagus Hadikusumo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945,” kata Lukman dalam kajian rutin virtual Kapita Selekta di Pondok Pesantren Budi Mulia pada 1 Maret 2021.
“Anehnya baik dalam buku Risalah Persidangan BPUPK dan PPKI terbitan setneg tahun 1992 maupun 1995 itu pidato Ki Bagus nggak tercantum,” jelasnya.
Lukman mengaku telah menerima materi naskah pidato Ki Bagus, semasa ia masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta pada tahun 1979. Saat itu ia memperoleh materi pidato Ki Bagus yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin dari putra Ki Bagus, Djarnawi Hadikusumo.
“Tahun 1979, saya sudah dapat, kenapa aneh sekali buku yang terbit tahun 1992 dan 1995 tidak memuat pidato Ki Bagus,” ungkap Lukman heran.
“Anehnya lagi pasti itu para editor risalah persidangan itu pasti membaca pidato Bung Karno 1 Juni,” tegasnya.
Lukman menambahkan dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno secara berulang-ulang menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo. Pengulangan nama Ki Bagus dalam pidato Bung Karno seharusnya menjadi hal yang dicermati oleh para penyunting buku Risalah Persidangan BPUPK dan PPKI.
“Mestinya dicari itu naskahnya, bisa hubungi Pak Jarnawi, beliau kan tokoh nasional pernah jadi Ketua Umum Parmusi. Jadi aneh kalau orang-orang itu tidak berusaha mencari pidato Ki Bagus yang namanya tidak kurang dari 10 kali disebut oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945,” ujar Lukman.
Manuver Panitia Sembilan Soekarno
Proses pembentukan dasar negara dalam sidang BPUPK memiliki riwayat perjalanan yang cukup panjang. Berbagai manuver pun terjadi selama proses penyusunan dasar negara yang berlangsung sejak 29 Mei hingga 18 Agustus 1945.
Awalnya pasca pidato 1 Juni 1945, BPUPK membentuk sebuah panitia kecil untuk menginventarisir usulan dasar negara. BPUK membentuk panitia kecil bernama Panitia Delapan.
Pada saat itu nama Ki Bagus masih masuk dalam jajaran Panitia Delapan. Selain Ki Bagus Hadikusumo ada tujuh anggota lainnya yakni Kiai Abdul Wachid Hasyim, Sukarno, Mohammad Hatta, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Muhammad Yamin, dan AA Maramis.
“Dari Panitia Delapan berhasil diinventarisir ada tujuh usul mengenai dasar negara,” tutur Lukman.
Adapun tujuh usul dasar negara ini terdiri atas Kebangsaaan dan Ketuhanan; Kebangsaaan dan Kerakyatan; Kebangsaan, Kerakyatan dan Ketuhanan; Kebangsaan, Kerakyatan dan Kekeluargaan; Kemakmuran Hidup Bersama, Kemajuan Kerohanian, Kecerdasan Pikiran Bangsa Indonesia yang Bertakwa Berpegang Teguh Kepada Tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, Agama Negara adalah Agama Islam; Kebangsaan, Kerakyatan dan Islam; Jiwa Asia Timur Raya.
Lukman menjelaskan dari ketujuh usulan dasar negara tersebut dapat disimpulkan bahwa empat usulan menginginkan Ketuhanan sebagai dasar negara. Dari empat usulan yang dimaksud terdapat dua usulan yang menginginkan Islam sebagai agama dan dasar negara.
Fakta di atas menujukkan bahwa bangsa Indonesia ialah bangsa yang religius. Sebab dasar negara Ketuhanan dan dasar negara Islam itu hidup dalam jiwa tokoh-tokoh BPUPK.
Penghapusan peran dan kiprah Ki Bagus secara implisit terjadi dalam pembentukkan Panitia Sembilan. Sebuah kepantitiaan yang dibentuk atas inisiatif Bung Karno dengan mengabaikan prosedur resmi kelembagaan BPUPK.
Ucapan maaf Bung Karno ini bisa simak dalam pidatonya pada Sidang BPUPK pada pertengahan Juli 1945, ia mengawalinya dengan meminta maaf atas kelancangannya membentuk Panitia Sembilan.
“Kalau kita baca Risalah Persidangan itu ada kata-kata Bung Karno pada pertengahan Juli tahun 45 itu… Bung Karno bicara minta maaf karena dia sudah melakukan sesuatu di luar prosedur,” ujar Lukman.
Pada tim sembilan inilah nama Ki Bagus tidak dimasukkan, tokoh Islam hanya diwakili oleh Haji Agus Salim, Kiai Wachid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso dan Kahar Muzakkir. Absennya nama Ki Bagus tentu sangat kontras dengan tujuan awal pembentukkan Panitia Sembilan, menyeimbangkan suara wakil Islam.
“Bung Karno melihat dalam Panitia Delapan yang dibentuk oleh BPUPK wakil kalangan Islam itu cuma dua. Cuma Ki Bagus dan Kiai Wachid Hasyim, Bung Karno merasa tidak aspiratif,” ucap Lukman
“Maka ketika BPUPK sedang reses dia bentuklah Panitia Sembilan… jadi empat kalangan Islam,” terangnya.
Begitulah kiprah dan dedikasi Ki Bagus kepada bangsa Indonesia yang mungkin sedikit terlupakan. Dedikasinya menunjukkan kepada kita semua betapa besar cintanya untuk umat dan bangsa.
Penulis: Kukuh Subekti