ISLAMTODAY ID – Umat Islam menjadi pihak yang sangat dikhawatirkan Belanda selama melakukan penjajahan di negeri ini. Sejumlah aturan pun dibuat untuk ‘mengendalikan’ umat Islam. Salah salah satunya kebijakan Ordonansi Guru.
Ordonansi guru adalah paket kebijakan pendidikan kolonial Belanda yang menyasar kalangan ulama atau guru agama. Kebijakan ini mengatur bahwa setiap guru agama harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial.
“Lembaga pendidikan Islam yang sejatinya menjadi sasaran Ordonansi Guru dan dianggap mengancam eksistensi pemerintah kolonial Belanda,” tutur Farid Setiawan dari PW Muhammadiyah, Yogyakarta dalam jurnalnya yang berjudul Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah Terhadap Ordonansi Guru.
Munculnya Ordonansi guru
Resistensi pihak kolonial terhadap umat Islam awalnya terjadi di Jawa.Terutama setelah mereka menghadapi perlawanan ulama dan santri dalam tragedi Cilegon tahun 1888.
Sekitar dua tahun pasca tragedi Cilegon, Banten (1890), K.F. Holle selaku Penasehat Urusan Pribumi, menyarankan agar pendidikan Islam di Jawa, diawasi secara ketat. Pada 19 November 1905 diterapkanlah kebijakan ordonansi guru di Jawa untuk pertama kali.
“Saran K.F. Holle didasarkan pada pertimbangan bahwa “motor penggerak” di balik tragedi tersebut adalah para Kiai,” terangnya.
Setelah menerapkan ordonansi guru di sejumlah wilayah termasuk jawa Jawa, pada tahun 1928 Belanda mulai mengincar Sumatera Barat. Kebijakan ini memicu protes ribuan ulama.
Musyawarah Ulama
Ulama-ulama Minangkabau mengadakan sebuah pertemuan rahasia pada 14 Juni 1928 di surau milik Syekh Muhammad Jamil Djambek, Bukittinggi. Beberapa ulama ternama seperti Haji Abdul hadir dalam musyawarah ulama.
Erman dari Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol menjelaskan beberapa hal terkait pertemuan tertutup mereka. Diantaranya menyusun siasat dan strategi melawan pihak kolonial yang ingin menerapkan ordonansi guru di tanah Minang.
“Pertemuan tertutup tanggal 14 Juni 1928 dimaksudkan untuk mempelajari ordonansi guru yang mau diterapkan oleh pemerintah kolonial,” kata Erman dalam Perlawanan Ulama Minangkabau Terhadap Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan Awal Abad XX.
Pertemuan itu sekaligus menunjuk ayah Buya Hamka, Haji Rasul sebagai pemimpin pergerakan. Puncaknya ordonansi pada 19 Agustus 192, menurut catatan Buya Hamka dihadiri lebih dari 2000 ulama Minangkabau dalam musyawarah besar untuk menentang kebijakan ordonansi guru.
Sikap tegas ulama Minangkabau makin bulat setelah mendengar kesaksian dari Ahmad Rasyid Sutan Mansur, menantu Haji Rasul. Ia menjelaskan dampak dari ordonansi guru di Jawa yang sudah berlaku sejak 1905.
AR Sutan Mansur bukan orang sembarangan, sebab pada tahun 1923 ia merupakan Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan. Selain itu ia baru saja pulang dari Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta yang diadakan pada Februari 1928.
Isu Ordonansi Guru merupakan problem serius yang juga dibahas dalam Kongres Muhammadiyah, terutama menyoroti rencana Belanda memperluas kebijakan tersebut ke luar Jawa termasuk ke Sumatera Barat.
Kedatangannya di Minangkabau pada saat itu, ia manfaatkan untuk mengingatkan para ulama Minangkabau akan bahaya kebijakan ordonansi guru. Sebab bisa akan menghilangkan kebebasan dalam berdakwah.
“Jika rencana kolonial itu benar-benar diterapkan di Minangkabau sebagaimana dikatakan oleh A.R. Sutan Manshur dapat menghilangkan kemerdekaan menyiarkan agama Islam dan ulama mesti tunduk di bawah kekuasaan penjajah,” ujar Erman.
Komite Ulama
Informasi dari Sutan Mansur semakin memantapkan semangat jihad para ulama. Mereka sepakat mendirikan dewan agama Minangkabau. Terbentuklah Comite Permusyawaratan Ulama Minangkabau dengan ketuanya ulama Maninjau, Abdullah Abdul Madjid.
“Abdul Madjid yang dipercaya sebagai pimpinan komite mulai membentuk dewan agama lokal di Maninjau yang terdiri dari ulama-ulama kaum muda dan kaum tua,” tutur Erman.
Upaya ini pun berhasil membatalkan kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Kegagalan inilah yang membuat Belanda akhirnya mengeluarkan kebijakan lainnya untuk membatasi perlawanan umat Islam, yakni ordonansi sekolah liar tahun 1932.
Erman mengungkapkan komite ulama di Minangkabau kembali dimunculkan pada tahun 1932. Para ulama Minangkabau membentuk Comite Perloetjoetan Goeroe Ordonantie dan Toezicht Ordonantie Farticulier Ornderwijs pada musyawarah yang berlangsung pada 6-7 Desember 1932M / 11-10 Sya’ban 1351 H.
Komite ini beranggotakan Haji Rasul (Ketua I), Syekh Abbas (Ketua II), Syekh Daud Rasyidi (Bendahara), Sutan Mudo (Sekretaris), Syekh Jamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Adam Balai-Balai, Fakih Autad, Sutan Permata, Tuanku Rajo Endah dan Saalah Sutan Mangkuto.
Mereka kembali melakukan rapat akbar ulama pada Sabtu hingga Ahad yang bertepatan dengan tanggal 9-10 Syawal 1351H atau 5-6 Februari 1933. Dalam rangka menyukseskan musyawarah akbar ulama se-Minangkabau di Padang Panjang itu mereka membuat publikasi berupa selebaran kepada seluruh elemen umat Islam di Minangkabau.
“….selebaran yang berisi informasi dan ajakan kepada para ulama, guruguru sekolah agama dan sekolah partikulir di wilayah Minangkabau untuk ikut-serta pada acara tersebut,” ungkap Erman.
“Panitia juga membuat berbagai maklumat yang dipublikasikan pada berbagai media massa di Hindia Belanda,” jelasnya.
Maklumat komite ulama Minangkabau ini dimuat dalam surat kabar Medan Ra’yat. Isinya mengajak kaum muslimin Minangkabau menolak kebijakan ordonansi sekolah liar dan mengajak mereka untuk ikut serta dalam pertemuan akbar yang sudah diagendakan panitia.
Bersatunya Ulama
Kesuksesan para ulama Minangkabau dalam melawan ordonansi guru dan ordonansi sekolah liar membuat mereka kembali bersatu. Silaturahmi diantara mereka makin menguat, mereka tidak lagi membeda-bedakan masjid dalam melakukan dakwah.
“Para ulama di Minangkabau tidak membedakan lagi mesjid-mesjid tempat mereka menyampaikan dakwah Islam, baik mesjid Muhammadiyah maupun Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti),” jelas Erman.
Erman dalam tulisannya mengutip kisah yang disampaikan oleh Buya Hamka mencontohkan bersatunya ulama Minangkabau. Salah satunya antara Haji Rasul dan Syekh Sulaiman Al-Rasuli, keduanya yang semula berjarak kembali dekat dan akrab.
“Kami telah menyatukan paham dengan ayahmu. Pada suatu hari kami diundang orang memberikan penerangan agama ke sebelah Solok. Abuyamu, saya dan Syeikh Ibarhim Musa. Di dekat sitinjau laut, rusak mobil kami. Kamipun turun dari atasnya, melihat alam yang di keliling. Lalu saya berkata: “kalau kita bertiga telah seperjalanan begini, akan bersatulah alam Minangkabau ini dan sanggup menglami kesulitan.” Ayahmu menjawab: “sebetulnya kaji kita tidak ada selisihnya. Apalah akan selisih kaji orang yang menyauk dari satu telaga. Cuma kadang-kadang salah paham, atau salah murid-murid menyampaikan, yang menyebabkan kita terpisah.” (Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera-1967).
Penulis: Kukuh Subekti