ISLAMTODAY ID—Kyai Muqoyim mufti Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I (1733-1797). Tapi ia memutuskan angkat kaki dari keraton, kemudian mendirikan pesantren dan bergerilya melawan VOC.
Keputusan itu dipicu ulah VOC yang semakin berani mengintervensi Kesultanan Cirebon. Bahkan mereka berupaya menyingkirkan pengaruh Islam.
Mereka menyingkirkan ulama, merampas hak para ulama, dan menghapus pemberlakuan syariat Islam di Kesultanan Cirebon.
Sikap Lancang VOC
Kehadiran VOC dengan tipu daya perjanjian dagang di Kesultanan Cirebon sejak 1681 perlahan-lahan sangat berdampak kepada para ulama. Kedudukan ulama di Kesultanan Cirebon sebagai penghulu, naib, kyai anom dan kyai sepuh dihapus oleh VOC.
Sikap lancang VOC dimulai dengan aksi perampasan tanah lungguh, yang selama ini menjadi hak para ulama. Tanah itu dirampas dan diminta menjadi milik VOC.
“…tanah bagian tadi diambil alih untuk dijadikan tanah gubernemen,” ungkap Rosad Amidjaja dalam Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon, Kemdikbud tahun 1985.
VOC secara terang-terangan melarang aktivitas pengajaran pengajaran agama Islam di Kesultanan Cirebon. Hal ini dilihat dari dihapuskannya aturan tentang pungutan zakat, sedekah dan wakaf yang selama ini menjadi sumber biaya pendidikan.
Masuknya pengaruh VOC membuat kesultanan tak berdaya dengan membiarkan lembaga wakaf kehilangan haknya atas tanah-tanah wakaf. Ratusan hektar tanah wakaf yang semula untuk keperluan pendidikan diubah menjadi untuk wakaf masjid.
Peran lembaga agama semakin dihilangkan, salah satunya peran penghulu sebagai hakim agama. Pihak kolonial menggantinya dengan mengangkat naib untuk menyelesaikan persoalan perkawinan mulai dari pernikahan, talak hingga rujuk.
Ironisnya pengangkatan penghulu dan naib oleh pihak kolonial mengabaikan pemahaman mereka terhadap hukum agama. Padahal pemahaman agama menjadi syarat mutlak bagi seorang penegak syariat Islam.
“Pengangkatan penghulu, dan naib, beserta para pegawainya didasarkan atas kehendak pemerintah kolonial, walaupun mereka yang diangkat itu tidak ahli dalam ilmu agama Islam. Bahkan pengangkatan anggota Mahkamah Islam Tinggi pun ternyata orang-orangnya tidak ahli di bidang ilmu hukum Islam,” ujar Rosad Amidjaja dkk.
Pesantren dan Gerilya Kyai Muqoyim
Menyikapi ulah VOC para ulama Kesultanan Cirebon memilih bergerilya membangun pesantren-pesantren di luar keraton. Salah satunya dilakukan oleh Kyai Muqoyim.
Pada tahun 1723 ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan mendirikan sebuah pesantren bernama Pesantren Buntet di Kedungmalang, Desa Buntet, Cirebon. Keberadaan Pesantren Buntet sangat tidak disukai oleh VOC sebab dianggap sebagai ancaman serius bagi kekuasaan mereka.
Pesantren Buntet merupakan pesantren yang para santrinya dikenal anti terhadap kolonialisme baik zaman VOC maupun pada saat pasukan sekutu datang ketika perang revolusi kemerdekaan (1945-1949). Banyak santrinya menjadi bagian dari laskar umat Islam Hizbullah dan Sabilillah.
VOC berusaha menghilangkan ancaman tersebut dengan menghancurkan Pesantren Buntet. Setelah itu Kyai Muqoyim dan para santri pun menjadi buronan VOC. Ia tidak menyerah dan pada tahun 1758 mendirikan kembali pesantren keduanya di Buntet, Desa Mertapada Kulon, Kec. Astanajapura, Cirebon.
Puncak ketegangan Kyai Muqoyim dengan VOC terjadi saat Pangeran Muhammad Khaeruddin II yang tidak lain adalah muridnya, ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Kyai Muqoyyim terus mendesak VOC untuk memulangkan putera mahkota Kesultanan Cirebon itu.
Imbasnya pesantren Kyai Muqoyim kembali diserang. Kondisi ini membuatnya bergerilya hingga ke Desa Beji, Pemalang, Jawa Tengah.
Kyai Muqoyim akhirnya syahid dalam aksi gerilyanya di Desa Tuk Karangsuwung, Lemahabang, Cirebon.
Penulis: Kukuh Subekti