ISLAMTODAY ID—Penggunaan aksara Arab Pegon di pesantren pada masa kolonial membuat Belanda was-was. Keresahan itu disampaikan langsung orientalis Belanda, Van den Berg dalam laporannya kepada pemerintah Belanda tahun 1887.
Den Berg secara khusus dalam laporannya terkait bidang pendidikan mengungkapkan ketakutannya terhadap penggunaan aksara pegon di pesantren. Ia sangat khawatir dengan penggunaan aksara Arab Pegon di pesantren-pesantren Jawa.
Selain sebagai sarana dakwah, para ulama memanfaatkan aksara Arab Pegon untuk merapatkan barisan dalam melawan Belanda.
Ketakutannya cukup terbukti dengan peristiwa meletusnya Geger Cilegon pada tahun 1888 yang dimotori oleh ulama dan pesantren.
“Aksara Pegon dalam konteks ini memiliki makna politik dan kultural bagi santri dan memperkuat proses pembentukan sebuah komunitas santri yang bersiap dalam berhadapan dengan kolonial,” ungkap Zainul Milal Bizawie dalam bukunya berjudul Masterpice Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945).
Zainul menambahkan penggunaan aksara Arab Pegon di pesantren berhasil mengangkat pesantren tidak hanya sekedar sebagai tempat halaqah atau pengajaran. Pesantren berhasil mencetak santri pejuang untuk melawan kolonial.
Pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda memaksa masyarakat untuk menggunakan aksara latin.
Pendidikan dan Dakwah
Aksara Arab pegon berperan penting perkembangan pendidikan Islam di Nusantara. Para ulama memanfaatkannya untuk menstransfer ilmu pengetahuan Islam dari Timur Tengah kepada umat Islam di Nusantara.
Banyak dijumpai kitab-kitab yang ditulis dengan aksara pegon dalam bahasa daerah seperti Jawa, Sunda dan Madura.
Misalnya seperti dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat. Sepanjang perjalannanya dalam dakwah, ia banyak menuliskan kitab yang ditulis dalam aksara Arab Pegon. Ia dianggap berjasa dalam melestarikan kembali penggunaan aksara Pegon di Jawa.
Salah satu karya Kiai Sholeh Darat (1820-1903) ialah tafsir Qur’an Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan yang disusun atas permintaan RA Kartini.
Apa yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Darat juga telah dipraktekkan oleh ulama seniornya, Kiai Ahmad Rifa’i Kalisalak, Batang (1786-1870). Seorang ulama Jawa yang juga sukses mendakwahkan Islam dengan menggunakan bahasa Jawa.
“Langkah inilah yang kemudian dilanjutkan Syekh Kholil Bangkalan (1820-1925) dan para murid-muridnya seperti Kiai Bisri Mustofa dengan karyanya, Tafsir Al-Ibriz yang di beberapa pesantren di Jawa masih digunakan,” kata Zainul.
Nancy K. Florida, Guru Besar Kajian Jawa dan Islam dari Cornell University bahkan mengatakan, penggunaan Arab Pegon telah berlangsung sejak era Wali Songo. Aksara Pegon lazim digunakan sejak awal abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19.
Penggunaanya pada masa itu banyak ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf yang memuat ajaran sufisme. Salah satunya dilakukan oleh pujangga Jawa, Ronggowarsito yang pada pertengahan abad ke-19 menuliskan naskah Suluk Wujil, Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Suluk Marang Sumirang, Suluk Sujinah, Serat Cebolek, Serat Wulangreh, Serat Tripama, Serat Jati Murti, dan lain-lain.
Penulis: Kukuh Subekti