“Slamete dunya akherat wajib kinira, nglawan raja kafir sekuasane kafikira, tur perang sabil lewih kadene ukara, kacukupan tan kanthi akeh bala kuncara.”
(Kiai Ahmad Rifa’i, Pendiri Pesantren Kalisalak, Batang)
ISLAMTODAY ID—Kiai Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum memiliki peran penting dalam perlawanan terhadap Belanda di Indonesia. Ia merupakan ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah 10 Muharram 1200H/ 12 November 1785.
Ia ulama yang hidup pada akhir abad 18 M hingga mendekati akhir abad 19 M, tahun-tahun dimana kedzaliman Belanda sedang melanda Pulau Jawa. Rakyat tengah menderita akibat kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van de Bosch sejak tahun 1830.
Penderitaan rakyat kala itu meliputi kewajiban menanam tanaman eskpor (tebu, nila dan kopi). Sementara bagi rakyat yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja paksa di perkebunan Belanda selama 75 hari per tahun, kebijakan ini berlaku hingga tahun 1870.
Artinya selama empat puluh tahun rakyat di Nusantara harus menjalani tanam paksa. Kebijakan tersebut membuat kemiskinan di Jawa terus bertambah, belum lagi bencana kelaparan dan penyakit. Melihat hal itu para ulama tak bisa tinggal diam, mereka menjadikan pesantren sebagai basis-basis perlawanan.
Berakhirnya tanam paksa Belanda menerapkan politik penjajahan gaya baru yang bernama politik etis. Salah satunya dengan menggunakan pendidikan yang berakibat pada dihapuskannya Arab Pegon dari khazanah peradaban Nusantara dan diganti dengan huruf latin.
Bagi para ulama penggunaan Arab Pegon dinilai sebagai langkah untuk membangun solidaritas dan kesadaran untuk melawan penjajah. Salah satunya terjadi di Batang, Jawa Tengah.
Perintah Jihad
Kiai Ahmad Rifa’i melalui pondok pesantrennya di Kalisalak, Kabupaten Batang itu pun melakukan perlawanan dengan menggunakan strategi Arab Pegon. Perlawanan kultural yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifa’i secara kultural itu bahkan membuatnya ditangkap.
Aksi perlawanan Kiai Ahmad Rifa’i dilakukannya dengan menuliskan gagasan dan pikirannya dalam berbagai kitab Arab Pegon. Diantaranya termuat dalam kitab-kitab Tarikh, Nadzam Wikayah, Syarihul Iman, Bayan, Tafrikah, Abyanul Hawaij, Tasyrihatul Muhtaj dan Riyatul Himmah.
“Doktrin protesnya terhadap pemerintah kolonial, K.H. Ahmad Rifa’i mendasarkan ajarannya pada argumentasi bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah kafir,” kata Ibnu Fikri dalam Studi Tentang Simbol Perlawanan Islam Jawa Abad Ke – XVIII – XIX.
Ibnu Fikri mengungkapkan salah satu ajaran Kiai Ahmad Rifa’i dalam kitab Nadzam Wikayah yang mendorong kepada para santrinya untuk giat melawan Belanda. Sebab perang melawan penjajah kafir dengan Perang Sabil akan mendatangkan sebuah pahala yang besar.
“Slamete dunya akherat wajib kinira, nglawan raja kafir sekuasane kafikira, tur perang sabil lewih kadene ukara, kacukupan tan kanthi akeh bala kuncara yang artinya keselamatan dunia-akhirat wajib diperhitungkan, melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan, demikian juga perang sabil lebih dari pada ucapan cukup, tidak menggunakan pasukan yang besar,” ujar Ibnu Fikri.
Ajaran yang terus diserukan kepada rakyat itu perlahan-lahan membuat rasa benci kepada Belanda semakin menjadi-jadi. Pada saat yang bersamaan kobaran semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial juga terus dinyalakan.
Berikut ini kutipan dari Kitab Tarqhib yang ditulis ulang oleh Ibnu Fikri:
“Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur, Iku amar naha ora gugur, saben mukalaf ghalih ana kuasa milahur, uga bisa ghalih derajate luwih luhur, tinemu alim fasiq ngilmune ketanggungan, Ningali ing negara Jawi dhalim rajane, kinaweruhan iku aweh pitutur tinemu linakonan, wajib amar naha sabab akeh kamaksiatan yang artinya Ingatlah! sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa, Berjuang mencegah selalu diharapkan, Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan, kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh kemulyaan kemudian, kalau didapati ada alim penghianat, yang ilmunya diragukan otomatis, mereka melihat Jawa jelas dikuasi penjajah dan menindas rakyat, sikapnya mestinya harus memberi penjelasan ke arah yang baik untuk dilaksanakan, sebab wajib bagi mereka mencegah kalau sudah terjadi wabah kemaksiatan.”
Apa yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifa’i tersebut membuat suasana kebatinan rakyat yang anti terhadap penjajah Belanda semakin terbentuk. Selain itu ia juga mengkritik kepada beberapa para birokrat feodal yang bersedia menjadi kaki tangan Belanda.
Ia adalah ulama yang tidak segan-segan menyebut mereka yang telah berhaji dan berpihak pada Belanda dengan Haji Fasik. Mereka dinilai sebagai orang yang munafik sebab menggadaikan keimanan mereka dengan jabatan.
“Ghalih alim lan haji fasiq pada tulung, marang raja kafir asih pada njunjung, ikulah wong alim munafik imane suwung, dumeh diangkat drajat dadi Tumenggung, lamun wong alim weruhe ing alane wong takabur, mongko ora tinemu dadi qadli miluhur yang artinya Ghalih alim dan haji fasik menolong raja kafir dan senang mendukungnya itulah orang alim munafik kosong imannya karena merasa diangkat kedudukannya jadi tumenggung Jika orang alim menunjukkkan jeleknya orang takabur nanti tidaklah mungkin dapat qadli terkenal.”
Diasingkan
Kegigihan perlawanan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifa’i dalam memobilisasi perlawanan itu tak pelak membuat Belanda risih. Semangat perlawanan itu masih sangat membara sebab Perang Jawa (1825-1830) baru saja usai, peperangan yang membuat Belanda sangat kewalahan.
Kiai Ahmad Rifa’i akhirnya ditangkap dan diasingkan Belanda jauh dari santri-santrinya. Ia diasingkan ke Minahasa, Sulawesi Utara pada tahun 1859, dan ia pun wafat di sana.
“Beliau wafat di pengasingannya pada hari Kamis, 25 Rabiul Akhir tahun 1286 H (1870M),” ungkap Ahmad Ginanjar Sya’ban dalam bukunya berjudul Mahakarya Islam Nusantara.
Penulis: Kukuh Subekti