ISLAMTODAY ID— Kitab Muhimmat Al-Nafais fi Bayan As’ilah al-Hadits atau Muhimmat Al-Nafais merupakan kitab yang berisi fatwa yang dikeluarkan oleh para Mufti Mekah. Para ulama tersebut menyoroti berbagai permasalahan Islam di Nusantara pada abad ke-19.
Kitab tersebut memuat berbagai fatwa atas berbagai pertanyaan dari para pelajar, santri Nusantara kepada para ulama di Makkah. Para Mufti bermadzhab Syafi’i seperti Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan Syaikh Said Ba Bashil al-Makki adalah dua diantara ulama-ulama yang memebrikan fatwanya.
Kitab Muhimmat Al-Nafais disunting oleh ‘Abd al-Salam bin Idris al-Asyi seorang ulama asal Aceh. Penyuntingan diselesaikan pada hari Sabtu tanggal 25 Safar 1305 Hijriyah bertepatan dengan 12 Oktober 1887.
Penerbitan edisi cetak Kitab Muhimmat Al-Nafais dilakukan pada tahun 1349 Hijriyah atau 1931M. Penerbitan dilakukan oleh penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi Kairo dan ditashih oleh dua orang ulama asal Kedah yakni Syaikh Ahmad Sa’id al-Fifilani dan Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim al-Qadhi.
Kitab tersebut pun telah diterjemahkan oleh orientalis Belanda, Nico J.G Kaptein ke dalam bahasa Inggris. Ia memberikan judul pada buku terjemahannya itu dengan judul ‘The Muhimmat al-Nafa’is: Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century.’
Fatwa Penjajah Belanda
Peneliti di Pusat Kajian Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya’ban mengatakan bahwa kitab Muhimmat Al-Nafais memuat 130 fatwa. Penulisan dalam Kitab Muhimmat Al-Nafais menggunakan dwi bahasa yakni Arab dan Melayu (Arab Pegon).
“Melalui kitab ini, kita bisa mengetahui kasus-kasus dan permasalahan umat Islam di Nusantara pada masa itu yang kompleks dalam pelbagai bidang; politik, sosial, ekonomi, keluarga dan lain-lain,” ujar Ginanjar dalam bukunya berjudul Mahakarya Islam Nusantara.
Ginanjar menambahkan Kitab Muhimmat Al-Nafais sangat kaya akan informasi terkait potret sosio-kultural, politik, ekonomi dan etnografi umat Islam di Nusantara pada periode akhir abad ke-19. Salah satunya terkait sikap umat Islam di Nusantara dalam menghadapi penjajah Belanda.
“Beberapa pertanyaan banyak yang menyinggung terkait sikap yang harus diambil oleh masyarakat muslim pribumi (Jawiyyun) terkait hubungan mereka dengan penguasa penjajah Belanda (Ulandah) yang kafir; status legalitas kekuasaan mereka, hubungan ekonomi dengan mereka dan lain sebagainya,” tuturnya.
Kitab Muhimmat Al-Nafais juga memberikan kritik kepada para raja-raja Jawa. Mereka dinilai telah tundurk kepada penjajah Belanda. Tidak sedikit dari mereka yang bersedia menjadi kaki tangan penjajah pada masa itu.
“(Raja Jawa) digambarkan sebgai pihak yang justru tunduk patuh dan menjadi kaki tangan penguasa penjajah Belanda masa itu,” jelas Ginanjar.
Masalah Non Politik
Di samping persoalan politik, Kitab Muhimmat Al-Nafais juga menjawab permasalahan yang muncul dalam keluarga muslim. Salah satunya yang cukup banyak dikupas tentang status istri yang ditinggal oleh suaminya ke luar negeri tanpa kabar bertahun-tahun lamanya.
Pada masa penjajahan banyak terjadi kasus seorang suami pergi meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama tanpa kabar dan tanpa memberikan nafkah. Hal ini menjadi persoalan serius mengenai status istri apakah dia bisa disebut janda yang artinya boleh menikah lagi atau tidak.
Hal berikutnya yang juga menjadi pertanyaan para santri di Nusantara ialah tentang tradisi Islam yang ada di masyarakat Nusantara. Seperti membunyikan bedug sebelum adzan, kenduri selamatan, hukum merokok di masjid, minum air nira (bahan gula kelapa), dan lain sebagainya.
Ginanjar mengungkapkan Kitab Muhimmat Al-Nafais menjadi tanda bahwa pada akhir abad ke-19 telah terjalin jaringan ulama secara global. Para ulama di Nusantara telah bersinergi dalam melakukan dakwah Islam dengan para ulama di Haramayn (Mekah dan Madinah).
Terlebih Kitab Muhimmat Al-Nafais diterbitkan langsung oleh penerbit tertua Islam, Musthafa al-Babi al-Halabi Kairo. Penerbit itu merupakan penerbit yang pada periode akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke- 20 M banyak menerbitkan karya-karya ulama Nusantara yang ditulis di Timur Tengah.
Penulis: Kukuh Subekti