ISLAMTODAY ID— Pesantren Takeran, Gontor, Tremas, dan Tegalrejo merupakan pesantren-pesantren yang pernah menjadi korban keganasan PKI pada tahun 1948. PKI secara keji membantai ulama, santri hingga membumihanguskan pesantren.
1. Pesantren Takeran
Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) atau lebih familiar dengan nama Pesantren Takeran merupakan salah satu pesantren yang menjadi korban PKI di Magetan. Pesantren Takeran pada periode perang revolusi kemerdekaan merupakan basis pergerakan Islam.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi di Takeran ialah perumusan Partai Masyumi. Partai yang menjadi lawan politik bagi PKI.
Bahkan sebelum aksi pemberontakan meletus pada 19 September 1948, di daerah sekitar Takeran telah banyak beredar pamflet bergambar pimpinan PKI, Muso.
“…di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam,” kata Pengasuh Pesantren Takeran, Kiai Zakaria dikutip dari republika 17 Juni 2020.
Pada saat pemberontakan PKI di Madiun itu, Pesantren Takeran kehilangan pimpinannya, Kiai Imam Mursyid Muttaquien. Ia diculik pada hari Jum’at tanggal 17 September 1948.
Penculikan terhadap Kiai Mursyid ini terjadi setelah ia bersedia menerima ajakan PKI untuk berunding terkait pendirian Republik Soviet Indonesia. Sebuah ajakan yang sebenarnya telah dicurigai oleh Kiai Imam Mursyid, hanya saja PKI mengancam akan membumihanguskan pesantren.
“…sebelum itu pihak FDR/ PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursyid Muttaqien tidak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan,” ungkap Agus Sunyoto dalam Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun.
Rupanya perundingan tersebut hanya kedok belaka, yang sebenarnya ialah aksi penculikan kiai. PKI menculik kiai dan santri yang juga masih kerabat Kiai Imam Mursyid, seperti Imam Faham dan Kiai Muhammad Noer.
Sasaran korban penculikan yang akhirnya gagal diculik ialah Kiai Muhammad Tarmudji. Ia berhasil lolos dari penculikan sebab ia tengah berada di Bojonegoro.
Sebagai gantinya PKI menculik kiai-kiai yang menjadi pengajar di Pesantren Takeran. Mereka adalah Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’.
Aksi pembumihangusan pondok dialami oleh Pesantren Burikan, salahsatu cabang dari Pesantren Takeran di Magetan. Para santri, kiai diseret dan dibantai ke sumur pembantaian di Desa Batokan yang terletak 500 meter jauhnya dari Pesantren Burikan.
2. Pesantren Gontor
Pesantren Gontor berjarak 40 kilometer, sebuah jarak yang cukup jauh dari pusat pemberontakan PKI di Madiun. Namun kiprahnya bagi PKI tak bisa dianggap remeh, terutama sosok Kiai Imam Zarkasyi yang menjadi Anggota Majelis Syuro Partai Masyumi.
Ketokohan sosok Imam Zarkasyi menjadi hal yang ditakuti PKI. Pada masa Jepang, ia adalah ulama yang terlibat dalam penggemblengan calon-calon tentara, laskar Hizbullah di Cibarusah, Kab.Bekasi.
Bahkan sembilan hari sebelum pemberontakan PKI di Madiun meletus pada 18 September 1948, pada 9 september 1948 Pesantren Gontor menjadi tempat rapat akbar Masyumi Ponorogo.
Kabar pemberontakan PKI di Madiun didengar oleh salah seorang santri yang juga merupakan anggota Hizbullah, Ghozali Anwar. Ia lantas meminta agar Kiai Imam Zarkasyi, K.H. Zainuddin Fannani, dan Kiai Achmad Sahal untuk segera mengungsi.
Awalnya kedua pimpinan pondok tersebut masih bersikap tenang, namun dua hingga tiga hari kemudian kabar kerusuhan PKI telah memasuki Jetis, Ponorogo. Daerah yang berjarak 3 kilometer dari pesantren.
“Saat itu mulai terdengar berita bahwa sejumlah kyai telah dihabisi oleh PKI. Di antara mereka adalah Kyai Mursyid, pengasuh Pondok Takeran Madiun, Kyai Dimyati, Pengasuh Pondok Termas Pacitan, dan beberapa tokoh Islam lainnya,” ungkap Khoirun Nisa dalam Peran Santri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Dalam Menangkal Pemberontakan PKI 1948.
Mendengar kabar tersebut pimpinan Pesantren Gontor beserta santri senior seperti Ghozali Anwar dan Shoiman mengadakan musyawarah. Pada saat itu musyawarah berkesimpulan bahwa melawan PKI pada saat itu ialah hal yang mustahil.
Maka jalan satu-satunya agar seluruh anggota pesantren selamat ialah mengungsi. Pimpinan Pesantren pun diharuskan mengungsi ke Trenggalek.
Khoriun Nisa menyebut aksi PKI di Ponorogo dilakukan oleh warok-warok Ponorogo. PKI berhasil menghasut para warok di Ponorogo untuk melakukan aksi teror kepada masyarakat.
Sementara itu dilansir dari republikaid (30/09/2015) upaya mengungsi itu berhasil dikejar oleh rombongan PKI. Tiga orang pimpinan Pesantren Gontor agar Kiai Imam Zarkasyi, K.H. Zainuddin Fannani, dan Kiai Achmad Sahal itu pun dalam bahaya.
Mereka ditahan di dalam Masjid Muhammadiyah. Di sekeliling masjid telah bersiap-siap bom dan Meriam tinggal menunggu intruksi.
Namun rombongan laskar Hizbullah di bawah pimpinan Kiai Yusuf Hasyim berhasil menyelamatkan mereka. Laskar Hizbullah dan Pasukan Divisi Siliwangi berhasil menghardik pasukan PKI.
“Di mana-mana tembakan dibunyikan, padahal orangnya ngga terlalu banyak. Akhirnya PKI itu lari dari sekeliling masjid,” tutur Kiai Amal Fatullah Zarkasyi.
3. Pesantren Tremas
Pesantren Tremas merupakan pesantren kuno yang didirikan oleh Kiai Mahfudz Attarmasi di Pacitan. Terletak di Kecamatan Arjosari, 15 kilometer sebelah utara Kota Pacitan.
Saat pemberontakan PKI di Madiun terjadi, pondok ini dipimpin oleh K.H. Hamid Dimyati. Ia adalah aktivis pergerakan dan seorang Kepala Penghulu di Pacitan.
K.H. Hamid Dimyati juga tercatat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia juga merupakan pimpinan Partai Masyumi Pacitan.
Ia menjadi korban pembantaian PKI ketika dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Ia ditangkap dan ditahan di Baturetno, Wonogiri bersama 15 orang pengikutnya.
“Ketika tahanan itu penuh rombungan Kiai Dimyathi itu dipindah ke rumah tahanan Tirtomoyo. Di dalam tahanan itu siksaan terus dilakukan, kemudian akhirnya semuanya dibantai kemudian secara bersama sama dimasukkan kedalam sumur sebagai kuburan massal,” ujar Agus Sunyoto dalam Benturan NU-PKI 1948-1965.
4. Pesantren Tegalrejo
Pesantren Tegalrejo berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan. Tokoh ulamanya pada tahun 1948 ialah seorang kiai sepuh bernama Kiai Imam Mulyo (80).
Kiai Imam Mulyo adalah kiai yang sangat ditakuti oleh PKI. Sebab upaya penyerangan yang dilakukan oleh PKI sejak Sabtu, 18-19 September 1948 selalu gagal untuk melumpuhkan dan merobohkan Pesantren Tegalrejo.
PKI akhirnya berhasil menangkap sejumlah Kiai Pesantren Tegalrejo dengan sebuah intrik perundingan. Intrik tersebut rupanya tidak dipercayai oleh Kiai Imam Mulyo, bahkan orang PKI pun tak berani menangkapnya.
“…orang-orang FDR/PKI tidak berani menangkap Mbah Kiai Imam Muljo,” ucap Agus mengutip pernyataan dari mantan santri sekaligus saksi sejarah, Khodim.
Kekuasaan Allah SWT membuat kisah Pesantren Tegalrejo ini menjadi istimewa. Mulai dari ketidakmampuan PKI membombardir Pesantren Tegalrejo, hingga kesalahan anggota PKI dalam memahami sandi militer mereka.
“…ada seorang kurir FDR/PKI yang membawa berita bahwa ‘Belanda pakai blangkon’, maksudnya tentara Siliwangi telah menyerang Gorang Gareng. Kurir itu mengatakan bahwa para tawanan sebaiknya “dibebaskan” sebelum Belanda pakai blangkon datang,” tutur Agus.
“… yang dimaksud dengan ‘dibebaskan’ itu sebenamya dibunuh. Sebab di depan rumah itu orang-orang FDR/PKI sudah mengali lubang untuk kami,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti