ISLAMTODAY ID— Masjid Baiturrahman menjadi salah satu ikon sejarah di Aceh. Lebih dari itu, di masa silam Masjid Baiturrahman pernah menjadi urat nadi yang turut merajut peradaban Kesultanan Aceh Darusalam.
Masjid Baiturrahman dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Dikutip dari buku Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Jilid I, Bidang Pendidikan Agama Islam dan Pemberdayaan Masjid (Penamas) Kemenag Aceh Tahun 2009, pembangunan Masjid Baiturrahaman dilakukan pada masa Sultan Iskandar Muda.
Hal ini berdasarkan Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar-Raniry. Kitab yang ditulis pada masa Sultan Iskandar Tsani itu menyebut jika Masjid Baiturrahman dibangun pada tahun 1614M. Pembangunan masjid tersebut sejaman juga dengan masjid lainnya.
“Tatkala hijrah seribu empat puluh lima tahun…, ialah yang berbuat Masjid Baiturrahman dan beberapa masjid pada tiap-tiap manzil. Dan ialah yang mengeraskan agama Islam dan menyuruh segala rakyat shalat lima waktu, dan puasa Ramadhan, dan puasa sunnah, dan menegahkan sekalian mereka itu minum arak, dan berjudi. Dan ialah yang membaiatkan bayt al-mal, dan ‘ushur (perangkat pemerintahan) negeri Aceh Darussalam, dan cukai pekan. Dan ialah yang sangat murah kurnianya akan segala rakyatnya, dan mengaruniai sedekah akan segala fakir dan miskin pada tiap-tiap berangkat shalat Jumat.” (Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Jilid I).
Sementara itu dalam Buku Sejarah Kotamadya Banda Aceh edisi tahun 1996/1997, masjid Baiturrahman pertama kali dibangun pada masa Sultan Alaiddin Mahmud Syah I. Sementara itu perluasan masjid baru dilakukan pada masa Sultan Iskandar Muda.
Perluasan bangunan masjid juga membuat nama masjid menjadi Masjid Raya Baiturrahman. Sultan Iskanda Muda merupakan Sultan yang sangat mendukung perluasan dakwah Islam di wilayah Kesultanan Aceh Darussalam.
Salah satunya dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi, Univeristas Baiturrahman. Sebuah perguruan tinggi Islam yang memiliki banyak fakultas dan mampu melahirkan banyak sarjana muslim dan ulama ternama.
“Perguruan Tinggi ini juga melahirkan banyak ilmuwan dan penyair-penyair terkenal seperti Nuruddin Ar-Raniry, Syamsuddin Pase, Hamzah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, yang kemudian terkenal dengan nama Tgk. Syiah Kuala dan Fatahillah/Maulana Malaik Ibrahim dan lain-lain. Banyak para mahasiswa dari berbagai negara Islam yang belajar di Universitas Baiturrahman ini.” (Sejarah Kotamadya Banda Aceh).
Orientalis Belanda, Snouck Hurgronje juga mengungkapkan bahwa Masjid Raya Baiturrahman dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda. Hal ini didasari oleh penyebutan mayoritas masyarakat Aceh terhadap masjid-masjid yang dibangun era Sultan Iskandar Muda dengan meuseujid raya.
“Bahwa oleh masyarakat Aceh, semua masjid yang didirikan oleh Iskandar Muda itu disebut meuseujid raya, baik karena luas/besar bangunannya, sebagai tempat ibadah utama, atau karena dibangun oleh Raja,” (Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Jilid I).
Arsitektur Masjid
Snouck juga menjelaskan bahwa karakteristik masjid yang dibangun pada masa itu memiliki ciri arsitektur yang sama. Salahsatunya pada bagian atap yang bertingkat.
Ia juga menyebutkan adanya tiga masjid lainnya yang dibangun sejaman dengan pembangunan Masjid Raya Baiturrahman. Masjid Indra Patra, Masjid Indra Puri dan Masjid Indra Purwa, ketiganya terletak di Aceh Besar.
Fakta berikutnya tentang Masjid Raya Baiturrahman juga diungkapkan oleh Denys Lombard. Ia menyebut Masjid Raya Baiturrahman sebagai masjid utama kerajaan itu sejaman dengan Masjid Indra Puri yang dibangun pada tahun 1618.
Denys juga menjelaskan tentang adanya sketsa bangunan dari Masjid Raya Baiturrahman yang dinilai cukup mendekati dengan gaya arsitektur masjid sebelum dibakar Belanda. Hal ini berdasarkan sketsa yang dibuat oleh Peter Mundy.
Peter Mundy merupakan pelancong asal Inggris yang pernah singgah di Aceh pada 26 Mei 1637 M atau bertepatan dengan 10 Zulhijah 1046 H. Ia dalam sketsanya menunjukkan bahwa gaya arsitektur Masjid Raya Baiturrahman itu masih bersifat tradisional seperti gaya arsitektur masjid di Aceh sebelum kedatangan Belanda.
Gambaran gaya arsitektur Masjid Raya Baiturrahman juga ditulis dalam Kitab Bustanussalatin. Masjid tersebut digambarkan sebagai masjid yang besar dengan daya tampung yang sama dengan Masjidil Haram di Kota Mekkah.
“Ada dalam negeri itu sebuah masjid terlalu besar dan terlalu tinggi kemuncaknya dari pada perak yang berapit dengan cermin balur. Maka ada segala orang yang sembahyang dalamnya terlalu banyak. Maka pada penglihat kami diperhamba yang mengatasi banyak orang sembahyang dari pada dalam masjid itu hanya dalam masjid yang dalam Haram Mekah Allah yang mulia itu jua. Maka masjid yang dalam segala negeri yang lain tiada ada seperti dalam masjid itu… Maka ada luas masjid itu seyojana mata memandang dan ada mimbarnya dari pada mas dan kemuncak mimbar itu dari pada suasa. Maka ada disebutkan orang pada puji-pujian dari mulut orang banyak: ‘Sayyidina Sultan Perkasa ‘Alam Johan berdaulat shahib al-barrayn wa al-bahrayn’, ya’ni tuan kami Sultan Perkasa ‘Alam yang mengempukan dua darat dan dua laut ya’ni darat dan laut masyrik-maghrib.”
Masjid Raya Baiturrahman dalam sejarahnya juga pernah terbakar pada masa Sultanah Nurul ‘Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678). Menurut Kitab Bustanussalatin, peristiwa itu terjadi pada masa pergolakan kaum wujudiyyah yang memprotes sah tidaknya pemimpin perempuan.
Masjid yang terbakar pada 1677 itu akhirnya dibangun kembali oleh Sultanah Nurul Alam. Wafatnya Sultanah Nurul Alam pada tahun 1678 membuat pembangunan masjid dilanjutkan oleh Sultanah Zakkiyat al-Dinn (1678-1688M).
Dibakar Belanda
Masjid Baiturrahman pernah menjadi korban Keserakahan Belanda dalam perang Aceh. Setelah melakukan serangan pertama pada 26 Maret 1873, Belanda secara bertubi-tubi menggempur sektor-sektor vital milik Kesultanan Aceh Darussalam.
Para serdadu Belanda di bawah komando Mayor Jenderal (Mayjend) J.H.R Kohler membakar Masjid Baiturrahman.
Tindakan biadab ini memicu perlawanan sengit para pejuang Aceh, hingga berujung tewasnya Mayjend Kohler, pada 14 April 1873.
Aksi pembakaran masjid tidak hanya dilakukan sekali oleh Belanda. Belanda kembali membakar masjid yang dinilainya sebagai simbol kekuatan rakyat Aceh pada 6 Januari 1874.
Serangan yang dipimpin Letnan Jenderal J. Van Swieten menyebabkan Masjid Baiturrahman hancur tak bersisa.
Tindakan ini membuat perlawanan rakyat Aceh semakin tajam. Mengingat perlawanan yang tak kunjung padam, Belanda berinisiatif membangunkan kembali masjid tersebut pada 9 Oktober 1879.
Penulis: Kukuh Subekti