“Mati Surga, Menang Jaya!”
(Yel-yel Angkatan Oemat Islam ‘AOI’ Kebumen)
ISLAMTODAY ID— Aksi jihad ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan bergelora di seluruh Indonesia, termasuk di Kebumen. Umat Islam di Kebumen bersama dengan para ulama terlibat aktif dalam laskar Angkatan Oemat Islam (AOI).
AOI dalam perjalanannya tak lepas dari pertarungan ideologi di Kebumen. Para tokoh Islam berupaya keras melawan dominasi oknum kiri dan kejawen.
Gerakan jihad tersebut dipimpin langsung oleh Pengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Syekh Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani. Pesantren itu merupakan pesantren tertua di wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1000 H/ 1590 M.
Syekh Mahfudz lahir di kompleks Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada 27 Rajab 1319 H atau bertepatan dengan 9 November 1901. Pada tahun 1938, ia mulai memimpin Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Riwayat pendidikan pesantrennya diantaranya ialah Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur di bawah asuhan langsung Kiai Haji (K.H) Dimyathi. Kemudian Pesantren Jamsaren, Solo, dan Pesantren Darussalam, Watu Congol, Muntilan, Magelang.
Dalam kancah nasional ia berperan aktif dalam menyusun strategi perang melawan penjajah. Salah satu peranannya ialah bersama-sama dengan K.H. Hasyim Asy’ari menyiapkan deklarasi Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945.
Angkatan Oemat Islam
Menjelang Resolusi Jihad, di Kebumen telah didirikan AOI. Organisasi kelaskaran itu berdiri pada 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945.
Menurut AD/ART AOI, tujuan AOI ialah berjihad untuk mengusir penjajah serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa berada di belakang pemerintah. Peran AOI sangat terlihat di wilayah Kedu, Magelang, Banyumas (Dulangmas).
Zainul Milal Bizawie dalam Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) menjelaskan tentang kiprah besar AOI dalam periode perang revolusi kemerdekaan. AOI selalu terlibat dalam berbagai pertempuran besar, salah satunya pertempuran 10 November 1945.
“Ketika peristiwa 10 November, Surabaya inilah salah satu adiknya lain ibu yang bernama Sayid Qushashi Al-Hasani gugur menjadi syuhada,” ungkap Zainul.
Ia menambahkan AOI merupakan kelaskaran Islam terbesar di Jawa Tengah, anggotanya mencapai 10.000 orang. Mereka berasal dari Kebumen Timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo.
Markas besar AOI berada di Pesantren Al-Kahfi Somalangu dan langsung dibawah komando Syekh Mahfudz. Bertindak sebagai pelaksana teknisnya ialah Kiai. Sururudin.
Menurut Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam untuk Aksi, salah satu latarbelakang berdirinya AOI pada September 1945 ialah melawan dominasi Angkatan Muda. Bahkan pada bulan Oktober, Angkatan Muda secara resmi berubah nama menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang cenderung kiri.
Kuntowijoyo juga menambahkan keterangan salah satu anggota AOI, Sujangi tentang berapa kali aksi jihad AOI dilakukan. Ia menuliskan sepanjang tahun 1948-1949, AOI terlibat dalam 38 pertempuran, yang terdiri atas 27 kali penyerangan dan 11 kali diserang.
Kiprah AOI
Kiprah AOI tidak hanya bersifat lokal di wilayah Dulangmas saja, bahkan makin meluas utamanya setelah mereka bergabung dengan laskar Hizbullah dan Sabilillah. Mereka aktif dalam pertempuran melawan tentara sekutu-NICA di Ambarawa dan Surabaya.
Ketangguhan laskar AOI juga terlihat ketika mereka bisa mencegah Agresi Militer Belanda I. Mereka berhasil memaksa Panglima NICA, Jenderal Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus, Johannes van Mook membuat garis demarkasi di Sungai Kemit, Gombong, Kebumen.
Pesantren Somalangu sebagai basis kekuatan AOI bahkan tidak tersentuh tentara sekutu dalam Aksi Agresi Militer Belanda II. Padahal pada 18 Desember 1948, pasukan sekutu berhasil masuk ke dalam wilayah Kebumen kota.
Laskar AOI juga membantu TNI dalam melawan pasukan sekutu di Kebumen. Jejak perlawanan mereka dapat kita lihat di Monumen Kemit dan Monumen Jembatan KA Lukulo (sebelah barat bekas RS Kebumen).
Kiprah AOI merupakan gerakan kelaskaran yang bersifat lokal. AOI merekrut anggotanya dari kiai, santri hingga para petani desa dengan berdasarkan faktor agamanya.
Pada Agustus 1947, AOI mulai menunjukkan eksistensinya ketika mereka menginisiasi terbentuknya Badan Pertahanan Rakyat Kebumen. Pada waktu itu Sudjangi ditunjuk sebagai Wakil Ketua Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen mendampingi Bupati Kebumen, Sudjono yang menjadi Ketua Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen.
“Inisiatif untuk mendirikan badan itu datang dari pemuka-pemuka Islam di kota. Tokoh-tokoh pendirinya Moh. Syafei, Affandi dan Soebani melihat kegiataan Angkatan Muda sebagai pesaing dalam politik setempat,” ucap Kuntowijoyo.
Kiprah AOI juga terlihat pada tahun 1948. Saat itu AOI diminta untuk terlibat dalam membantu menjaga keamanan dan pembersihan dari sisa-sisa pemberontakan PKI di Madiun.
AOI Dituduh Memberontak
Pada periode tahun 1950-an hubungan AOI dan TNI menjadi sangat renggang. Bahkan pada tahun-tahun tersebut citra AOI dinilai buruk sebab lekat dengan image ‘pemberontak’.
Semua berawal dari hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Salah satu hasil KMB ialah terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat yang diikuti dengan pembentukkan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Saat itu Syekh Mahfudz secara sukarela harus membubarkan AOI dan meleburkan satu batalyon AOI ke dalam APRIS. Batalyon Lemah Lanang di bawah komando Sayid Quraisyin masuk menjadi bagian dari APRIS.
“(Syekh) Mahfudz Al-Hasani kemudian membubarkan AOI dan mengizinkan satu batalyonnya, (yakni) Batalyon Lemah Lanang yang dipimpin oleh Sayid Quraisyin untuk bergabung dengan APRIS,” ujar Zainul.
“Batlayon Lemah Lanang ini setelah bergabung dengan APRIS berganti nama menjadi Batalyon X yang bermarkas di Kebumen,” jelasnya.
Sayid Quraisyin merasa keberatan dengan kebijakan peleburan laskar AOI yang hanya satu batalyon saja. Peleburan itu dinilainya sebagai sebuah skenario besar untuk mengurangi peranan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.
Pada saat yang sama masuknya sebagian AOI ke dalam APRIS pun tidak disenangi oleh sebagian besar anggota APRIS yang mayoritas berasal dari TNI. Keberadaan laskar AOI dinilai sering membuat masalah.
Perseteruan dua kubu, AOI dan TNI rupanya tidak bisa dilepaskan oleh faktor ideologi. Saat itu di Kebumen keanggotaan TNI didominasi oleh kalangan priyayi abangan.
Bahkan perseteruan keduanya juga diwarnai dengan isu-isu yang terkesan menyudutkan AOI. AOI dianggap tengah berencana untuk membuat sebuah kawasan khusus bagi para ulama dan orang-orang sholeh.
“Pasca perang kemerdekaan tersebar isu AOI hendak mendirikan suatu ‘keputihan’ yakni wilayah orang-orang saleh yang lokasinya mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen-Purworejo,” ungkap Zainul.
Belum lagi aksi pengeroyokan yang dilakukan oleh personil TNI terhadap anggota AOI pada akhir Juli 1950. Aksi itu pun dibalas oleh AOI hingga timbul korban jiwa.
Aksi pertumpahan darah tersebut berlangsung hingga tiga bulan lamanya, sebanyak 2000 nyawa hilang sia-sia. Situasi makin memanas pasca AOI diumumkan terlibat dalam aksi pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII ) oleh M. Sarbini dan Achmad Yani.
“APRIS mengerahkan pasukan besar bersandi ‘kuda putih’ dibawah piminan Kol. Achmad Yani yang dengan tugas melakukan stelling, menghancurkan segala jenis bangunan yang berdiri di Somalangu dan sekitarnya tanpa peduli siapa penghuninya,” kata Zainul.
“Akibat kebrutalan tersebut demi menghindari jumlah korban, Syekh Mahfudz memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke Jawa Barat,” terangnya.
Untuk meredam situasi di Kebumen yang kian memanas, pemerintah pusat mengutus Jaksa Agung yang juga tokoh Muhammadiyah Mr. Kasman Singodimejo dan Menteri Agama, K.H. Wahid Hasyim.
“Dalam surat kabar nasional tanggal 12 Agustus 1950, dengan bahasa Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim menyatakan telah terjadi kesalahpahaman antara AOI dan APRIS,” tutur Zainul.
“AOI tidak sama dengan DI/TII. Menteri Agama menjamin bahwa AOI tidak akan memberontak kepada negara,” imbuhnya.
Penulis: Kukuh Subekti