ISLAMTODAY ID—Pemerintah kolonial Belanda memiliki pengalaman traumatis yang mendalam terhadap kekuatan Islam di Nusantara. Islamophobia itu akhirnya membuat orientalis Belanda, Snouck Hurgronje turun tangan.
Belanda dibuat tak berdaya dalam menghadapi perlawanan umat Islam dalam beberapa peperangan. Setidaknya ada tiga perang yang membuat Belanda mengalami traumatis yakni Perang Aceh, Perang Padri dan Perang Jawa.
Islamophobia yang dialami oleh Belanda membuat pemeinth kolonial Belanda kewalahan. Salah satunya membendung gerakan perlawanan umat Islam yang di Nusantara.
Intrik-intrik Snouck
Snouck merupakan tokoh utama di balik Dutch Islamic Policy atau Kebijakan Belanda mengenai Islam yang ditetapkan pada tahun 1889. Ia menyarakan pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik dengan berbagai intrik.
Pertama, melalui jalur kebudayaan dan pendidikan. Cara ini menyasar kalangan bangsawan dan priyayi agar mereka tercerabut dari nilai-nilai Islam.
“…meleburkan budaya lokal dengan Belanda (Cultur Associate) dengan cara mendidik golongan priyayi dengan pendidikan dan pola hidup Barat/ Belanda,” ungkap Zainul Milal Bilawie dalam Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan Jejaring, Ulama-Santri (1830-1945).
“Hanya dengan jalan Cultur Associate inilah pemerintahan Belanda dapat melepaskan anak-anak muslimin dari ikatan agama mereka,” jelas Zainul.
Kedua, melibatkan elite lokal. Sejumlah nama seperti Hasan Mustafa (Penghulu Priangan dan Aceh) dan Sayyid Usman Yahya (Mufti Betawi) adalah contoh diantaranya. Mereka berdua menjadi tokoh kunci di balik agenda liberalisasi agama di Nusantara.
“Mereka telah menjadi tokoh kunci yang membuka pintu bagi Hurgronje memperoleh pengetahuan Islam lokal yang memberi kemudahan-kemudahan tertentu untuk masuk ke sisi terdalam kehidupan Islam dan muslim di Nusantara,” tutur Zainul.
Hal ini terlihat ketika Snouck Hurgronje dan Hasan Mustafa melakukan perjalanan keliling ke berbagai pesantren di Jawa. Sejumlah pesantren di Madiun, Ponorogo, Surakarta, Yogyakarta, Magelang dan pesisir Jawa telah disinggahi keduanya.
“Mustafa tidak hanya menemani perjalanan Hurgronje memahami Islam di Jawa, tetapi juga memungkinkannya masuk lebih jauh dengan umat Islam di wilayah-wilayah tersebut,” ungkap Zainul.
Pada momen tersebutlah Snouck Hurgronje mengamati bagaimana Islam di Mekkah dipraktikan oleh umat Islam di Nusantara. Termasuk pengaruh-pengaruh ajaran Islam di Nusantara.
Ketiga, merekrut para elite lokal ke dalam lingkaran kekuasaan kolonial. Selanjutnya menempatkan mereka untuk berhadap-hadapan dengan para ulama pesantren.
“Begitupun terhadap Sayyid Usman Yahya untuk memasuki lingkngan keturunan Arab dan jejaringnya untuk memisahkannya dengan ulama pesantren,” ungkap Zainul.
Zainul mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan Snouck sebenarnya telah lebih dulu dilakukan oleh pendahulunya, Karel Frederick Holle. Ia adalah pemain utama di balik penciptaan otoritas agama tandingan di luar pesantren.
Masuknya ulama dalam struktur penghulu dinilai telah menciptakan sebuah budaya priyayi baru. Selain itu Belanda telah memecah belah umat Islam dengan memisahkan antara penghulu dan ulama.
“Holle telah berhasil menciptakan penghulu dan ulama sebagai dua domain politik dan klutural yang berbeda dan terpisah,” ujar Zainul.
Baik Holle maupun Snouck dinilai sukses membentuk kelompok muslim baru yang terkolonisasikan dalam politik etis. Dengan kualitas yang tentu berbeda dengan ulama-ulama pesantren lulusan Timur Tengah yang memiliki jalur sanad keilmuan yang ketat.
“Hurgronje juga melakukan hal yang sistematis menjauhkan para penghulu dan pengaruh Islam dari Arab, serta menjauhkan para habaib dari ulama,” tutur Zainul.
Zainul dalam paparannya juga menjelaskan lebih lanjut tentang Sayyid Usman Yahya. Menurutnya apa yang dilakukan oleh Sayyid Usman Yahya juga dalam rangka untuk bisa menyelamatkan orang-orang ‘Arab’ Indonesia yang waktu itu terdampak oleh kebijakan pemerintah kolonial.
“Kolonial Belanda memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap orang Arab, seperti sistem tempat tinggal dan izin berpergian yang rumit,” ungkap Zainul.
Penulis: Kukuh Subekti