ISLAMTODAY ID—Keberadaan organisasi pergerakan Sarekat Islam (SI) pada periode 1912 hingga 1914 menjadi perhatian serius dua ulama Nusantara. Mereka adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabauwi.
Kedua ulama itu memiliki basis jaringan intelektual yang sama. Bahkan mempunyai sejumlah guru yang sama seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho, dan Syekh ‘Abd al-Ghani Bima.
Sosok Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabauwi yang merupakan ulama senior bagi K.H. Hasyim Asy’ari, mampu meluruskan kekeliruan pemahaman sang adik seperguruannya itu. Menginsyafi kekeliruan pandangannya K.H. Hasyim Asy’ari pun akhirnya mengirimkan risalah balasan kepada Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabauwi.
Kisah perdebatan antara dua ulama Nusantara ini menarik untuk disimak. Keduanya mengajarkan pada kita untuk saling mengoreksi pemahaman kita terhadap berbagai aspek terutama yang menyangkut kepentingan umat Islam.
Pembahasan tentang SI dituangkan oleh dua ulama ternama itu dalam manuskrip. K.H. Hasyim Asy’ari menuliskan pandangannya terhadap SI dalam manuskrip berjudul Kaff al- ‘Awam ‘an al-Haudh fi Syirkah al-Islam sementara Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabauwi ditulis dalam manuskrip berjudul Tanbih al-Anam fi al-Radd ‘ala Risalah Kaff al-Awam.
Risalah pertama ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1912. Melalui manuskrip tersebut ia sampaikan sikap dan kekurang setujuannya terhadap gerakan yang diinisiasi oleh para saudagar muslim di Solo.
Hal ini diungkapkan oleh filolog muda Ginanjar Sya’ban dalam Maha Karya Islam Nusantara. Menurutnya salah satu alasan ketidaksetujuan K.H. Hasyim Asy’ari ialah ketakutan kiai terhadap potensi perpecahan di kalangan umat Islam.
“Beliau menilai jika Sarekat Islam justru berpotensi merugikan umat Islam dan memecah belah kekuatan mereka,” ungkap Ginanjar.
Ginanjar menambahkan tentang kekhawatiran lainnya yang dipikirkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari ialah tentang pengelolaan keuangan SI.
“Bahkan secara mengejutkan, beliau menyebut SI sebagai sesuatu yang ‘heretik’ atau al bid’ah al-Muhdasath,” tutur Ginanjar.
Bertolakbelakang dengan pendapat KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad justru merestui keberadaan organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhudi. Baginya keberadaan SI menunjukan titik tolak kebangkitan umat Islam di Nusantara.
“SI didirikan untuk menegakkan prinsip-prinsip Islami, memajukan perdagangan umat Islam, mensuport pertanian dan membantu meningkatkan kesejahteraan dan membantu meningkatkan kesejahteraan para anggotanya,” jelas Ginanjar.
Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabauwi dalam risalah yang ditulisnya pada 1914 itu juga membahas tentang kemajuan dunia pendidikan yang diraih oleh umat Islam di Nusantara pasca berdirinya SI.
“(SI) juga bisa meningkatkan dunia pendidikan umat Islam di Nusantara dan mencerahkan para putera-puteri Tanah Air Boemi Poetra,” ujar Ginanjar.
Keberadaan SI di Jawa Timur, khususnya Surabaya terbukti efektif untuk menggalang persatuan di antara umat Islam. Pada Oktober tahun 1912, para pedagang muslim terutama para keturunan Arab dihadapkan pada persoalan serius dengan para pedagang China.
Salah satunya dialami oleh saudagar keturunan Arab terkaya di Surabaya, Hasan Ali Soerati. Ia adalah pemilik perusahaan Setia Usaha tempat Ketua SI, HOS Tjokroaminoto bekerja sekaligus donatur utama SI di Surabaya.
Pada periode kepemimpinannya SI menjadi organisasi modern dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Bahkan pada tahun 1919, SI tercatat memiliki jumlah anggota yang sangat banyak, mencapai 2,5 juta orang.
Penulis: Kukuh Subekti