ISLAMTODAY ID — Di awal abad ke-20, sekulerisme dan nativifisasi turut menyasar kalangan pemuda Indonesia. Ditengah ancaman ini Jong Islamieten Bond (JIB), muncul sebagai oase ditengah keringnya pemahaman pemuda akan ajaran Islam.
Kisah ini pernah diungkapkan oleh Lukman Hakiem, pemerhati sejarah dalam forum webinar di Ponpes Budi Mulia Yogyakarta pada (18/1/2021). Ia mengisahkan tentang bagaimana sulitnya aspirasi para anggota Jong Java yang beragama Islam.
“Para anggota Jong Java yang beragama Islam dalam Kongres Jong Java pada Desember 1924 di Jogja mengusulkan kepada kongres supaya kepada para anggota Jong Java beragama Islam diberikan kursus Islam,” kata Lukman.
“Entah kenapa usul yang sangat sederhana itu kemudian menjadi ruwet. Jadi untuk menyetujui atau menolak usul pengajaran agama Islam kepada anggota Jong Java, sampai-sampai harus diadakan voting,” tuturnya.
Pada masa itu teosofi, sekulerisme dan kristenisasi tumbuh. Bahkan terdapat trend, setiap anggota Jong Java memiliki mentor-mentor khusus dari kalangan kebatinan dan Katolik.
Artawijaya dalam Freemason dan Teosofi: Persentuhannya dengan Elit Modern di Indonesia bahkan mengatakan, salah satu tokoh teosofi sekaligus misionaris menjadi penasihat Jong Java.
“Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dalam Jong Java adalah Hendrik Kraemer (1888-1965), seorang utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java,” tulis Artawijaya
Kraemer yang juga seorang misionaris Jesuit juga aktif memberikan kuliah tentang Teosofi dan Katolik kepada anggota Jong Java. Di Jong Java inilah, Kraemer menyusup dan menihilkan ajaran-ajaran Islam.
Suburnya ajaran teosofi, sekulerisme dan kritenisasi membuat resah Ketua Jong Java, Raden Syamsyuridjal. Kalangan islam di Jong Java mengusulkan agar oprganisasi ini menyelenggarakan menyelenggarakan pendidikan agama untuk anggota-anggota yang memeluk
agama Islam. Ironisnya, usul ini ditolak.
Hal tersebut membuat Raden Syamsyuridjal kecewa. Ia lantas mendatangi Haji Agoes Salim untuk membahas persoalan ini. Siapa sangka ,pertemuan dengan Haji Agoes Salim menjadi momentum lahirnya JIB.
“Jangan sedih, mari segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan surat kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu telah mencoba mematikan sinar
Ilahi tetapi Tuhan tak akan membiarkannya,” ungkap Kata Haji Agoes Salim seperti dikutip Kusniaty Mohtar dalam Agus Salim Manusia Bebas.
JIB kemudian hadir dengan misi yang sangat mulia. Organisasi ini bertekat menyelamatkan para pemuda Islam dari pengaruh teosofi, kristenisasi dan sekulerisasi. Kehadiran JIB pada saat itu menunjukkan betapa mendesaknya islamisasi pada kalangan terpelajar Indonesia.
“Munculnya JIB menurut Dawam Rahardjo menunjukkan perlunya proses islamisasi di kalangan terpelajar dan merupakan reaksi atas responsi umat Islam terhadap ethische politiek yang telah menghasilkan kaum terpelajar yang tersisih dari Islam,” ungkap Abdurrahman dalam Jong Islamieten Bond 1925-1942, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Gerakan islamisasi kalangan terpelajar JIB pun berjalan masif. Sejak dideklarasikan pada 8 Februari 1925, berbagai gerakan dan kegiatan ke-Islaman terus dilakukan.
Salah satu kegiatan JIB paling berpengaruh bagi kehidupan ke-Islaman anggotanya ialah program Kernlichaam pada tahun 1927. Sebuah forum diskusi yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh JIB di Bandung.
“Melalui program tersebut, para anggota JIB dapat memperoleh pengajaran dan diskusi mengenai Islam secara mendalam,” ujar Hasanul Rizqa dalam Sepak Terjang Jong Islamieten Bond, republikaid (1/11/2020).
Forum tersebut diisi oleh salah seorang tokoh JIB yang kelak menjadi intelektual ulama ternama di Indonesia bernama Mohammad Natsir.
Kongres Pemuda I
Perlawanan JIB terhadap gerakan teosofi ditunjukan oleh para aktivis JIB ketika menolak hadir dalam Kongres Pemuda I di Jakarta. Para aktivis JIB curiga jika agenda kongres disusupi oleh kepentingan tokoh-tokoh teosofi.
Pasalnya, lokasi Sumpah Pemuda I digelar di Loji Freemason. Kini, loji tersebut terletak di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Sebelumnya, pada tahun 1922 di lokasi yang sama kelompok teosofi itu meninggalkan kesan permusuhan terhadap Islam.
Salah seorang dari mereka berpidato dan mengatakan bahwa Islam merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen. Sedangkan Indonesia mempunyai kultur sendiri dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Lebih baik mengkaji dan memperdalam budi pekerti daripada mengkaji agama impor.
“Pernyataan-pernyataan seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketegangan dan resistensi daripada pemuda Islam ketika itu,” tegas Artawijaya.
Merajut Persatuan
JIB memiliki andil besar dalam Kongres Pemuda II. JIB turut mengambil inisiatif membentuk kepanitiaan Kongres Sumpah Pemuda II, yang berlangsung selama dua hari 27 hingga 28 Oktober 1928.
Djohan Mohammad Tjaid diutus menjadi wakil JIB dalam penandatanganan ikarar Sumpah Pemuda 1928.
Sikap JIB yang senantiasa mengutamakan persatuan bangsa juga terlihat dalam majalahnya Het Licht. Majalah milik JIB ini bahkan menyebarluaskan Ikrar Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928.
Penulis: Kukuh Subekti