ISLAMTODAY ID— Pulau Sumatera merupakan kawasan strategis dalam sejarah pelayaran dunia. Kawasan pesisir Pantai Barat Sumatera rumah bagi pohon kafur, aromatika primadona dunia sejak era pra-Islam.
Kafur atau Dryobalanops Aromatica salah satu komoditas perdagangan Sumatera sejak tahun 3000 SM. Kafur pada masanya sering digunakan untuk pembalseman mumi Mesir.
Berbeda dengan bangsa Mesir bagi bangsa Arab, kafur juga dimanfaatkan untuk keperluan obat-obatan dan parfum.
Dikutip dari buku Membangkitkan Kejayaan Rempah Nusantara milik Litbang Pertanian, Jakarta disebutkan bahwa bangsa Arab telah memonopoli perdagangan rempah sejak 2000 tahun sebelum Masehi.
Artinya sebelum Islam datang mereka telah singgah di Nusantara, termasuk kawasan Pulau Sumatera.
Bangsa Arab pula yang pertama kali memperkenalkan rempah-rempah kepada bangsa Eropa pada tahun 500M. Meskipun akhirnya seribu tahun kemudian dominasi bangsa Arab dalam perdagangan rempah direbut oleh bangsa Eropa.
“Hal tersebut diawali dengan keberhasilan bangsa Portugis di bawah komando Alfonso de Albuquerque menaklukkan Malaka pada 24 Agustus 1511,” ungkap Andi Amran Sulaiman dkk dalam buku tersebut.
Karakteristik Pohon Kafur
Pohon Kafur memiliki ciri fisik yang tingginya mencapai 62meter dengan diameter batang pohon mencapai 70 cm.
Pohon ini juga memiliki ciri batang yang tegak lurus, terdapat resin, kulit batangnya berwarna coklat semakin ke dalam berwarna coklat kemerahan.
Daunnya berbentuk tunggal, berseling, dan permukaanya mengkilap, bagian tepi daun rata, pertulangan daun menyirip rapat pada bagian sisi ketiak daun terdapat stipula berukuran 7 mili meter (mm).
“Jika daun diremas-remas akan mengeluarkan aroma wangi. (Sementara) bunga biseksual, berukuran 5 mm, berwarna putih, terdapat dalam malai yang pendek. Buah berbentuk nut, berwarna kuning merah keunguan dengan lima sayap yang berasal dari dasar kelopak, panjang sayap 50 mm, sehingga dimungkinkan dapat terbawa oleh angin,” ujar Budi Prasetyo dalam jurnalnya Populasi Pohon Kapur (Dryobalanops Camphora Colebr) di Ambang Kepunahan.
Budi menyebutkan di Sumatera pohon kafur tersebar di daerah Singkil, Aceh, kemudian di Sumatera Utara di kawasan Sungai Natal yang terletak antara Sibolga dan Padang Sidempuan hingga Aerbangis. Selanjutnya di Riau, dimulai dari Sungai Rokan sampai utara Sungai Batanghari di Jambi.
Selain itu di bagian timur pohon kafur juga tersebar hingga Kepulauan Riau, Bengkalis dan Malaka ke arah Barat Pulau Mursala di Tapanuli Tengah.
Kapur Mendunia
Budi juga mengungkapkan secara ekonomi tumbuhan pohon kafur sangat bernilai jual. Hampir semua bagian dari pohonnya dapat digunakan untuk keperluan manusia.
Ia menjelaskan salah satu cara pemanfaatan pohon kafur ialah pada bagian getahnya yang dikeringkan dan membentuk kristal. Selain Mesir, salah satu bangsa yang turut memanfaatkan hasil dari pohon kafur di Sumatera ialah China.
“Orang-orang China menggunakan kapur barus sebagai penguat atau tonikum, syahwat atau aphrodisiacum dan untuk radang mata,” jelas Budi.
Budi mengisahkan pula tentang periode keemasan pohon kafur. Ia mengungkapkan bahwa pada abad ke-4 hingga 10 Masehi, kawasan Tapanuli Tengah telah menjadi pusat perdagangan kamfer dunia.
Para saudagar-saudagar besar dari berbagai wilayah mulai dari Afrika, Persia, Timur Tengah, India, China dan Asia Tenggara telah singgah di Tapanuli Tengah. Bahkan bangsa Eropa menyebut, harga kafur setara dengan harga emas.
“Marco Polo, seorang saudagar dan penjelajah berkebangsaan Italia mengatakan bahwa harga kapur barus semahal emas dengan berat yang sama,” ujar Budi.
Literatur Dunia
Budi menambahkan tentang beberapa hasil penelitian terhadap beberapa literatur dunia tentang kafur yang dilakukan oleh Claude Guillot. Menurut Claude, sumber tertua ditulis pada abad ke-5 Masehi yang ditulis oleh Sogdian seorang pedagang yang menulis dalam ejaan China ‘kprwh’.
Sumber China yang lain dalam Kronik Dinasti Liang (502-557M) ditulis kamper Po-Lu atau Kapur Barus.
Bangsa Barat mulai mengenal istilah kamper setelah Amida (502-578M) seorang dokter berkebangsaan Yunani yang tinggal di Mesopotamia menulis dalam bukunya Actius.
Ilmuwan muslim yang telah memanfaatkan kamper ialah Al-Kindi, seorang ahli kimia muslim. Ia menuliskan kamfer dalam kitabnya berjudul Kitab Kimiya Al- ‘Itr.
Sementara itu Sejarawan Universitas Negeri Medan (UNIMED), Ichwan Azhari menambahkan sejumlah keterangan tentang berbagai literatur yang menyebutkan tentang kafur. Salah satunya ialah ilmuwan muslim Ibn Khordadhbeh pada tahun 850 dalam kitabnya al-Masalik wal-Mamalik atau Kitab tentang Jalan-jalan dan Kerajaan-kerajaan.
“Di antara Pulau Langabalus dan Pulau Kilah, terdapat Pulau Balus yang dihuni oleh manusia kanibal. Pulau ini menghasilkan kamper yang bermutu tinggi, pisang, kelapa, tebu dan beras,” tutur Ichwan Azhari dalam Politik Historiografi, Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara.
Sumber lainnya ialah Ahbar as-si-nwal-Hind atau Catatan Mengenai China dan India. Kitab yang ditulis pada tahun 851M diyakini sebagai sumber awal meskipun tidak diketahui pasti siapa penulisnya.
“Katanya pulau ini seluas 800 atau 900 parasanges (persegi). Pulau ini mengandung banyak emas dan sebuah tempat yang bernama Fanshour menghasilkan kamper (kafur) bermutu tinggi,” jelas Ichwan Azhari.
Selain literatur bangsa Arab dan China, sumber dari Armenia juga menjelaskan tentang kafur.
Sebuah buku geografi berbahasa Armenia berjudul Nama-nama Kota di India dan Kawasan Pinggiran Persia yang diperkirakan berasal dari abad ke-11 sampai ke-13 menjelaskan tentang kawasan penghasil kamper bermutu tinggi.
“Negeri Bumi Emas dinamakan Reminzar, karena menghasilkan emas sebanyak yang diinginkan. Nama-nama kota di Bumi Emas adalah sebagai berikut. Kota pertama dan pelabuhan pertama Lambre. Di tempat ini banyak terdapat kayu sepang dan bahan berharga lainnya, apa saja yang diinginkan terdapat di pelabuhan ini. Dari sini orang berangkat untuk pergi ke Pant’chour sebuah kota pelabuhan perdagangan yang ramai sekali, yang mengeluarkan kamper bermutu,” jelas Ichwan Azhari.
Penulis: Kukuh Subekti