ISLAMTODAY ID— Pohon gaharu dan daluang menjadi kertas pertama yang mendukung perkembangan literasi di Nusantara. Keberadaan manusrkip kayu gaharu, daluang serta lontar adalah contoh kertas-kertas pertama Nusantara sebelum masuknya kertas Eropa dan China.
Hal ini diungkapkan oleh Sejarawan Universitas Negeri Medan (UNIMED), Ichwan Azhari dalam workshop Pengolahan Kulit Kasyu Alim/ Gaharu menjadi Media Penulisan Manuskrip yang berlangsung pada Kamis (6/1) kemarin.
“Ini warisan Indonesia yang berpotensi sebagai warisan dunia karena ini kertas awal sebelum kertas eropa diciptakan atau ditemukan atau (bahkan) sebelum kertas China masuk kemari,” kata Ichwan dalam paparannya.
“Tradisi-tradisi tulis kita, peradaban tulis kita sudah tinggi lewat kertas-kertas seperti ini,” jelasnya.
Tingginya tradisi peradaban tulis di Indonesia salah satunya sangat didukung oleh kayu gaharu. Oleh karenanya ia menyerukan untuk kembali melestarikan pohon gaharu.
Keberadaan pohon gaharu di hutan Indonesia mulai langka. Kelangkaan hingga kepnunahan pohon gaharu hutan-hutan tertentu seperti di daerah Batak saja yang masih ada.
“Kayu alim sudah punah, hanya ada di hutan-hutan tanah Batak, kalau itu bisa diselamatkan kita masih bisa menyelamatkan kertas asli Indonesia yang kedua selain daluang dan lontar,” ungkap Ichwan.
Ichwan menambahkan keterangan penggunaan pohon kayu alim atau gaharu sebagai bahan manuskrip atas informasi seorang pakar manuskrip Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Pro. Titi Pudji Ambulaningsih.
Ia juga menjelaskan jika selama ini penelitian terkait pohon gaharu tidak pernah dibahas tentang kulitnya. Pohon gaharu selalu identik dengan khasiat aromaterapi serta teh dari daun gaharu.
Ichwan juga menjelaskan tentang ciri tekstur kulit kayu gaharu ialah pada kelenturannya. Dengan kelenturannya itu dapat memudahkan seseorang untuk menulis manuskrip.
Pohon Daluang
Kelangkaan yang sama juga terjadi pada pohon daluang atau Broussonetia Papyrifera Vent. Pohon yang disebut-sebut sebagai cikal bakal kertas Indonesia kini telah langka di hutan Sumatera Utara dan Aceh.
Padahal manuskrip kuno yang tersimpan di Aceh banyak ditulis menggunakan daluang. Sementara sisanya dengan memanfaatkan kertas Eropa.
“Di Aceh, manuskrip yang di sana, yang non kertas Eropa itu daluang,” ujar Ichwan.
Ia mengungkapkan tentang keterlibatan Museum Al-Qur’an Sumatera Utara sejak tahun 2019 dalam melestarikan pohon daluang. Mengingat banyaknya koleksi manuskrip yang memanfaatkan kayu daluang.
“Saya cari kayunya, di Jawa Barat, Cirebon dapat dan sekaligus bibitnya. Bibitny kami tanam di pesantren,” ucap Ichwan.
Hal yang sangat disayangkan di tengah langkanya pohon daluang ialah ketika pohon ini banyak dimanfaatkan untuk industri fashion seperti tas dan baju.
Pada kesempatan yang sama Ichwan juga menjelaskan tentang wacana yang sedang beredar di Kemendikbud RI perihal ekosistem kebudayaan, salah satunya manuskrip. Menurut wacana yang berkembang kebudayaan akan dipertahankan mana kala ada ekosistem pendukungnya.
Penulis: Kukuh Subekti