ISLAMTODAY ID—- Diet bukan hanya dikenal dalam dunia kesehatan modern. Sejak era kejayaan Islam, metode diet telah dipelajari oleh Ibnu Jazla.
Ibnu Jazla bernama lengkap Abu Ali Yahya bin Isa Ibnu Jazla. Dalam bahasa Latin namanya dikenal dengan Buhahylyha Bingezla.
Ia adalah dokter ternama di Kota Baghdad. Ia adalah penulis kitab Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan, kitab diet penyembuh 352 penyakit.
Wahyu Murtiningsih dalam bukunya Biografi Para Ilmuwan Muslim menjelaskan jika kitab tersebut telah diakui oleh para ilmuwan dunia. Kitab kedokteran tersebut dinilai sebagai kitab paling lengkap dan akurat.
“Para ilmuwan masa itu menganggap Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan sebagai buku daftar penyakit yang paling lengkap dan akurat,” tutur Wahyu Murtiningsih.
Kehebatan kitab kesehatan karya Jazla ini diketahui setelah karyanya Kitab Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Lalu diterbitkan dengan judul Tacuini Aegrutinum.
Kitab tersebut hasil terjemahan seorang dokter Yahudi Mr Farachi atau Faraj bin Salilim. Sehingga sejak tahun 1280 kitab tersebut tidak hanya berpengaruh di kalangan bangsa Arab namun juga meluas hingga Eropa.
“Pada 1914 atau 1333H, karyanya ini dicetak ulang di Damaskus,” jelas Wahyu Murtiningsih.
Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan
Wahyu juga menuturkan karya Ibnu Jazla yang lain tentang kitab obat-obatan. Kitab tersebut berjudul Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan.
“(Kitab) Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan yang dipersembahkannya kepada Khalifah al-Muktadi. Karyanya berisi sejumlah daftar tanaman dan obat-obatan,” tutur Wahyu Murtiningsih.
Kitab tersebut merupakan rangkuman hasil sejumlah penelitian dan eksperimen langsung yang dilakukan oleh Ibnu Jazla.
Kitab yang sama selain diterjemahkan dalam bahasa Latin juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Hal ini dilakukan oleh ilmuwan Prancis ternama yang bernama P. de Koning.
Hasil terjemahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa baik itu ke dalam bahasa Prancis maupun bahasa Latin mengantarkan kitab Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan sebagai rujukan utama kedokteran Eropa.
Karya intelektual Ibnu Jaszla yang lainnya ialah al-Ishara fi Talkhis al-Ibara, Fada’il al-Thibb dan Mukhtar Mukhtasar Tarikh Baghdad.
Selain membuat karya intelektual, semasa hidupnya ia juga mendedikasikan dirinya sebagai seorang dokter dan ahli kesehatan. Ia tinggal di wilayah al-Karkh, di sana ia kerap menolong tetangga dan kerabatnya secara cuma-cuma.
“Ibnu Jazla adalah seorang dokter yang dermawan, ia memberikan pengobatan gratis kepada para pasiennya,” ungkap Wahyu Murtiningsih.
Pada saat yang sama ia akan menerima penjelasan dari pasiennya tentang obat-obatan yang mereka lakukan. Informasi tersebut ditindaklanjutinya dengan sejumlah percobaan dan eksperimen lanjutan.
“Selama menekuni dunia kedokteran, Ibnu Jazla rajin melakukan berbagai penelitian, terutama tentang obat-obatan,” ujar Wahyu Murtiningsih.
“Hasil dari setiap percobaanya itu kemudian ditulisnya dalam bentuk buku,” jelasnya.
Kini karya-karya intelektualnya telah tersebar di berbagai perpustakaan di seluruh dunia. Diantaranya ialah Perpustakaan Rampur Raza di India, Perpustakaan Lidon, Inggris.
Menjadi Muslim
Wahyu Murtinigsih menjelaskan pula latar belakang Ibnu Jazla. Ia berasal dari keluarga Kristen Nestorian yang beragama dan pada tanggal 11 Februari 1074 ia memutuskan menjadi seorang muslim.
Kisah perjalanan spiritualnya memeluk Islam dituliskannya dalam kitab berjudul ar-Radd’ala Nasarah. Karya ini sebagai wujud pengakuan Ibnu Jazla atas keunggulan Islam.
“Melalui karya tersebut, Ibnu Jazla menuliskan alasan utamanya berpindah keyakinan,” ucapnya.
Ibnu Jazla mengaku sangat terinspirasi dengan sosok Nabi Muhammad. Sosok yang dikenalnya ketika ia mempelajari Kitab Perjanjian Lama atau Kitab Pantateuch.
“Ia merasa tertarik dan hatinya terpanggil menjadi pengikut (Nabi Muhammad),” imbuh Wahyu Murtiningsih.
Ibnu Jazla wafat pada bulan Juni tahun 1100 M atau bulan Sya’ban tahun 493 Hijriyah.
Penulis: Kukuh Subekti