“Marto: ‘Ah, seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, kebetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek ajam tjengoek brendel. Sebab Goesti Kangdjeng Nabi Rasoel itoe minoem tjioe A.V.H. dan minum madat, kadang kadang kletet djoega soeka. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Meskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”
(Pertjakapan antara Marto dan Djojo, Djawi Hisworo 9 dan 11 Januari 1918)
ISLAMTODAY ID— Kasus penistaan agama lewat tulisan Djojodikoro di Surat Kabar Djawi Hisworo, di atas menuai reaksi keras umat Islam. Sikap tegas umat Islam bermunculan dari pembentukkan laskar umat Islam hingga ajukan delik pers.
Mu’arif seorang Pengkaji Sejarah Muhammadiyah Aisyiyah dan Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dalam Kasus Penistaan Agama di Zaman Kolonial Belanda mengungkapkan jika ada beberapa tipologi respon Umat Islam.
Pertama, sikap reaktif umat Islam di Surabaya dan Solo. Keduanya dimotori oleh para aktivis Sarekat Islam (SI) dengan medianya masing-masing.
Di Surabaya lewat Oetoesan Hindia mereka menuliskan sebuah artikel dengan judul Si Djahat Menghina Nabi Kita. Artikel yang sama diterbitkan ulang di Medan Moeslimin, Solo.
Bahkan respon umat Islam di Solo tidak hanya menerbitkan ulang artikel milik Abikoesno Tjokrosoejoso. Mereka juga menerbitkan pamphlet-pamflet menyerang Djawi Hisworo.
Surabaya dan Solo merupakan dua kota yang mempelopori lahirnya laskar Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM).
Kedua, upaya damai dari organisasi pers Hindia Belanda, Inlandsche Journalist Bond (IJB). Gerakan ini dipimpin oleh Wakil IJB, Marco Kartodikromo.
Ketiga, menempuh jaluar hukum. Upaya ini dilakukan oleh Muhammadiyah dalam surat terbukanya kepada pemerintah kolonial pada 15 Maret 1918.
Sikap Muhammadiyah
Sikap Muhammadiyah ditunjukkan dengan keluarnya surat atas nama Hoofdbestuur Muhammadiyah yang ditandatangani oleh KH Ahmad Dahlan dan Raden Ngabehi Kartopringgo. Surat yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum itu meminta agar Djawi Hisworo segera ditindak.
Dikutip dari Covering Muhammadiyah Gerakan Islam Berkemajuan dalam Sorotan Media Massa pada Zaman Kolonial Belanda disebutkan jika dalam surat terbuka tersebut Muhammadiyah mengecam redaksi Djawi Hisworo.
Muarif dalam buku tersebut menuturkan tentang kefatalan yang dilakukan oleh Djawi Hisworo. Muhammadiyah menyatakan bahwa delik pers terhadap Djawi Hisworo bukan hanya perkara penghinaan terhadap Nabi Muhammad namun juga terhadap Allah SWT.
“Disebutkan dalam rilis tersebut bahwa delik pers yang menimpa Surat Kabar Djawi Hisworo bukan hanya hinaan kepada Nabi Muhammad saja, tetapi juga kepada Allah SWT,” ujar Muarif.
Surat terbuka dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tersebut diterbitkan oleh Surat Kabar Islam Bergerak pada Senin, 1 April 1918. Pernyataan PP Muhammadiyah itu dimuat dalam sebuah kolom dengan judul ‘Soerat Terboeka Dipersempahkan Kehadapan Srie Padoeka jang Dipertoean Besar Gouvernour General di Hindia Nederland’.
“Otoritas kolonial sebagai pemangku kedaulatan hukum diminta untuk segera menindaklanjuti pelaku penista agama Islam karena telah mengganggu stabilitas keamanan,” jelas Muarif.
Penulis: Kukuh Subekti