ISLAMTODAY ID— Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO atau PKU) Muhammadiyah dulu bukan hanya sekedar rumah sakit. PKU memiliki peran strategis seperti mendirikan rumah miskin, poliklinik, dan rumah yatim.
PKU merupakan bagian dari Hoofdbestuur Muhammadiyah pada masa KH Ahmad Dahlan. PKU resmi dibentuk pada forum Rapat Anggota Muhammadiyah Istimewa, tanggal 17 hingga 18 Juni 1920.
Umat Islam di Yogyakarta dan Jawa Tengah sedang menghadapi ancaman zending dan kristenisasi. Hal ini disebutkan dalam artikel De Christelijke Zending en Islam in Miden Java di Surat kabar Bataviaasche Nieuwsblad edisi 4 Oktober 1922.
Abdul Mu’thi dkk, dalam KH Ahmad Dahlan (1868-1923) memetakan wilayah zending di Jawa Tengah. Pusat-pusat zending terletak di Purbalingga, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Yogyakarta, hingga Solo.
“Wilayah zending di Jawa Tengah ini berpusat di Purbalingga, Purworejo, Kebumen, Yogyakarta, Solo, Wonosobo, dan Magelang,” ungkap Abdul Mu’thi dalam buku tersebut.
Kristenisasi menggunakan sejumlah metode sistematis seperti ceramah, gerakan sosial, pendidikan hingga gerakan kebudayaan.
“Zending bukanlah kegiatan yang bermakna dalam arti kata sempit karena kebanyakan penduduk Jawa Tengah adalah pemeluk Islam,” ujar Abdul Mu’thi.
“Para pemimpin Islam juga telah mengetahui hal ini dan dari situlah terjadi kebangkitan Islam di Jawa Tengah,” jelasnya.
Tiga Peran PKU
PKU Muhammadiyah memiliki sejumlah peran strategis sebagai berikut:
- Rumah Miskin
Rumah Miskin Muhammadiyah merupakan gerakan penyantunan dan pemberdayaan kaum miskin yang berdiri pada 13 Januari 1923 di Yogyakarta.
Program rumah miskin diharapkan tidak hanya berhenti pada program santunan. Program ini juga harus disertai dengan keterampilan kerja.
“Jangan sampai orang-orang miskin itu selamanya hidup dengan meminta-minta saja. Seharusnya yang kemudian harus dipikirkan,” ujar Ghifari Yuristiadhi dalam Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yogyakarta Sebagai Representasi Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931).
“Upaya untuk mendidik mereka agar gemar bekerja, kecuali jika ada bagian tubuhnya yang cacat,” tegasnya.
Para tokoh pendiri PKU sangat khawatir terhadap aqidah kaum dhuafa. Muhammadiyah, organisasi persyarikatan yang besar harus hadir.
“Sesungguhnya pada diri orang miskin itu terkadang juga rusak kemanusiaan dan agamanya. Dua hal itu harus diperbaiki agar mereka bisa hidup setara dengan manusia yang lainnya,” tutur Ghifari.
Ghifari menggambarkan situasi kemiskinan di Yogyakarta pada tahun 1923. Ribuan orang mendatangi halaman Masjid Gedhe Yogyakarta, untuk mendapatkan jatah beras.
Ribuan orang mendapat jatah sebesar 3 kati, 1 kati sama dengan 6,25 ons/ orang. Artinya setiap orang mendapatkan beras sebesar 18,75 ons atau 1 kg lebih 8 ons.
Aksinyata Muhammadiyah ini terbilang sangat efektif, bahkan beras yang disediakan panitia belum mencukupi. Panitia, harus menyediakan beras tambahan sebesar satu pikulan atau setara 60 kg beras.
Keraton pun aktif dalam mendukung gerakan Rumah Miskin. Keraton dan Pakualaman masing-masing memberi subsidi senilai 200 gulden dan 300 gulden pada tahun 1925.
Bantuan tersebut jika dikurskan ke uang sekarang berkisar antara Rp 19.460.000,00 sampai Rp 29.190.000,00.
- Poliklinik PKU Muhammadiyah
Muhammadiyah dalam waktu singkat melirik persoalan kesehatan dan mendirikan klinik pada 15 Februari 1923. Klinik ini merupakan respon atas gerakan kristenisasi terselubung di rumah sakit, Zending hospitaal Petronella.
Masyarakat muslim pada saat itu “dipaksa” untuk berobat ke sana. Hal ini dikarenakan ketiadaan rumah sakit Islam.
Artikel Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 11 Februari 1922 memberitakan tentang kegiatan pengobatan gratis mereka. Sebanyak 2000 orang mengikuti pengobatan gratis RS Petronella.
Gerakan zending bidang kesehatan terus berlanjut. Mereka pada Januari tahun 1929 mendirikan rumah sakit baru serta menerjunkan lima tenaga kesehatan baru.
Muhammadiyah terus mengimbangi gerakan zending dengan membuka sejumlah cabang, klinik di Surabaya, Imogiri dan Kotagede. Klinik kesehatan yang sederhana itu pun telah mampu menolong ratusan hingga ribuan pasien.
“Pada 1929, bagian PKO sudah membuka klinik di Imogiri dan Kotagede, jumlah pasien yang dirawat masing-masing tempat selama tiga bulan pertama sejak klnik dibuka adalah 470 pasien dan 367 pasien,” ujar Gifari.
Pelayanan kesehatan PKU Muhammadiyah diberikan secara gratis. Hoofdbestuur Muhammadiyah melakukan berbagai cara demi operasional klinik.
Hoofdbestuur Muhammadiyah bahkan membuka restauran Ramadhan di Kampung Kauman, Yogyakarta. Hasil keuntungannya sepenuhnya untuk keperluan operasional klinik kesehatan.
- Rumah Yatim atau Weeshuis
Rumah Yatim Muhammadiyah diresmikan pada 5 Oktober 1931. Peresmian dihadiri oleh sejumlah pejabat seperti Gouverneur van Djogja, Sultan Hamengku Buwana VIII, Pangeran Ario Adipati Pakualaman, Resident van Djogja.
Rumah yatim dilengkapi dengan sejumlah fasilitas seperti taman, taman bermain, ruang sekolah, dapur hingga masjid. Tidak hanya itu rumah yatim juga memiliki tanah kosong untuk berkebun.
Anak-anak di Rumah Yatim memperoleh pendidikan dan ketrampilan secara gratis. Kegiatan operasional Rumah Yatim mendapat subsidi dari sejumlah pihak termasuk keraton dan pakualaman.
Rumah Yatim setiap tahunnya hanya bisa menampung 50 orang. Batas maksimal yang diperkenankan oleh pemerintah saat itu.
Para anak yatim di Rumah Yatim juga memperoleh santunan khusus dari keraton Yogyakarta. Setiap bulan mereka mendapatkan jatah sebesar 1,8 gulden.
Pemerintah juga memberi subsidi anak yatim sebesar 5 gulden per anak per bulan. Jumlah tersebut dibagikan setiap akhir tahun.
Gerakan PKU Muhammadiyah menunjukkan bahwa aqidah umat lebih berharga. Muhammadiyah menyadari bahwa berapapun harta yang dikeluarkan untuk membiayayai berbagai kebutuhan di atas tak sebanding dengan keimanan para kaum pribumi.
Penulis: Kukuh Subekti