ISLAMTODAY ID— Ibnu Taymiyya bernama lengkap Taqiddin Abu’l Abbas Ahmad bin Abdullah bin Taymiyya. Ia lahir pada 22 Januari 1263 Masehi di Harran, Turki.
IImam Ibnu Taymiyya sejak kecil sudah mencintai ilmu. Ayahnya, Abdullah bin Muhammad mengajarkannya berbagai bidang ilmu seperti tafsir (Al-Qur’an-Hadits), filologi, hingga filsafat.
Selain ayahnya, ia juga belajar pada sejumlah ilmuwan di Damaskus. Ilmuwan tersebut diantaranya Zainuddin al-Muqaddasi, Najmuddin ‘Asakir dan cendekiawan muslimah, Zaynab binti Maqqi.
Pada usia 20 tahun ia mulai menggantikan usia ayahnya sebagai guru besar hukum Madhab Hanbali. Bahkan setiap Jum’at, ia mengajar materi tafsir Al-Qur’an di Masjid Agung Damaskus.
“Usianya masih muda, namun dengan pengetahuan mendalam mengenai Al-Qur’an, Hadits, agama dan Syariah dia mampu mengejutkan pendengarnya dengan ceramah-ceramahnya yang hebat,” ungkap M. Atiqul Haque dalam Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia.
Atiqul menuturkan Ibnu Taymiyya ialah ilmuwan muslim yang dianugerahi kemampuan luar biasa. Ia diakui sangat unggul dalam hal ingatan, pemahaman hingga logika.
Keluar Masuk Penjara
Kecerdasan Ibnu Taymiyya membuatnya tak segan-segan berbeda pandangan dengan ulama lainnya. Ia tegas mengkritik pengutipan hadits lemah hingga keluarkan fatwa yang bertentangan dengan kehendak penguasa.
Beberapa kritik tajamnya ini bahkan membuatnya harus dipenjara dan diusir. Ia diusir dari Damaskus pada tahun 1292.
Ia pun meninggalkan Damaskus dengan melakukan perjalanan ke Mekkah. Ia lantas melanjutkan perjalanannya menuju ke Kairo, Mesir pada tahun 1299.
Fatwanya di Mesir tentang sifat-sifat Allah juga membuatnya kembali terusir. Ia akhirnya bisa kembali ke Mesir untuk berjihad melawan pasukan Mongol.
Ibnu Taymiyya juga beberapa kali menjalani persidangan di Kairo. Pada sidang yang berlangsng hingga lima hari itu ia divonis hukuman penjara.
Ia pun menjalani masa tahanan hingga 1,5 tahun lamanya sejak tahun 1307. Setelah sempat bebas, ia kembali ditahan selama 1,5 tahun lagi.
“Kali ini dia mulai mengajar para tahanan dan menenggelamkan diri dalam pencarian ilmu pengetahuan,” ujar M. Atiqul.
Ibnu Taymiyya juga sempat menjalani masa tahanan di Alexandria. Ia juga sempat menetap selama delapan bulan lamanya sebelum kembali ke Kairo.
Atas perintah Sultan an-Nasir, Ibnu Taymiyya kembali ke Kairo. Sultan bermaksud memintanya mengeluarkan jihad perang melawan musuh-musuh pribadi sultan.
Ia menolak permintaan tersebut. Sultan an-Nasir pun menghormati sikapnya itu dan menunjuknya sebagai guru besar di sana.
Ibnu Taymiyya akhirnya meninggalkan Kairo menuju Damaskus pada tahun 1313. Ia memulai perjalanannya itu dengan mengikuti ekspedisi perang ke Syria selama 7 tahun 8 bulan.
Kedatangannya ke Damaskus disambut dengan penuh penghormatan. Ia bahkan kembali ke posisinya sebagai guru besar di Damaskus.
Ia juga sempat menulis sejumlah kitab-kitab Islam, sebelum akhirnya kembali ditahan pada tahun 1318. Penahananya dilakukan setelah ia mengeluarkan sebuah fatwa talaq yang berlawanan dengan kehendak penguasa.
“Ia dibebaskan setelah lima bulan,” ucap M. Atiqul.
Ia tidak pernah berhenti menyuarakan gagasannya, meskipun harus keluar masuk penjara. Pada tahun 1326, ia mengeluarkan sejumlah fatwa yang dinilai provokatif.
“Dia mengeluarkan beberapa fatwa dan memberi khutbah menentang pemujaan dan berziarah ke makam Pir,” tutur M. Atiqul.
Atiqul mengungkapkan fatwa itu sebenarnya berkaitan dengan tradisi ziarah yang menyimpang. Kepercayaan umat terhadap ulama atau tokoh agama juga dinilai telah berlebih-lebihan.
“Hanya Allah Yang Maha Kuasa yang patut kita sembah, dan bukan siapa pun, buka Nabi, bukan pir, bukan sufi, bukan guru agama,” jelasnya.
Musuh-musuhnya memprovokasi penguasa Damaskus untuk memenjarakannya. Tidak hanya itu karyanya juga merebut paksa karya-karyanya selama di penjara.
“Mereka merampas semua naskahnya, kertas bahkan penanya. Perbuatan itu merupakan tindakan paling kasar yang terjadi padanya,” ujar M. Atiqul.
Ia menjelaskan Ibnu Taymiyya ialah sosok ilmuwan muslim yang berdedikasi. Pengetahuannya akan Al-Qur’an dan Hadits sangat mendalam.
Hal ini dibuktikan banyaknya karya Ibnu Taymiyya yang mencapai 500 kitab, tentang Al-Qur’an dan Hadits. Kitab-kitabnya yang baru berhasil ditemukan baru 64 buah.
Ia juga menentang sekte-sekte yang dianggapnya menyimpang seperti Mu’tazilah, Kharijit, Rafidit, Qadarit, dan masih banyak lagi.
Ibnu Taymiyya wafat di Damaskus pada 27 September 1328. Kiprah dan perjuangannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Penulis: Kukuh Subekti