ISLAMTODAY ID— Mohammad Natsir merupakan intelektual Islam dan politisi muslim ternama di Indonesia. Ia tidak hanya berjuang di panggung politik, tapi juga di medan dakwah
Natsir lahir di Solok, Sumatra Barat tanggal 17 Juli 1908 bertepatan dengan 17 Jumadil Akhir 1326 H.
Saat bersekolah di MULO tahun 1923, ia bergabung dengan Nationale Islamitische Padvindrij sebuah kepanduan yang didirikan Jong Islmieten Bond (JIB).
Kemudian, pada tahun 1927 ia melanjutkan pendidikan ke jurusan sastra klasik Barat di Algeme Midlebare School (AMS) Bandung. Ia pun bergabung di JIB Bandung, bahkan dipercaya sebagai Ketua JIB Cabang Bandung.
Melalui JIB ia banyak bertemu dengan sejumlah tokoh-tokoh penting seperti Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Tuan A. Hasan dan Syekh Ahmad Soorkati. Empat orang tokoh pergerakan yang turut memberi pengaruh pada sosok Natsir.
Natsir dikenal sosok cerdas sejak di AMS telah menguasai banyak bahasa seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis. Kemampuannya tersebut membuatnya mampu menjelaskan dengan sangat baik peradaban sejarah peradaban dunia Islam, Yunani, Romawi dan Barat.
Majalah Pembela Islam
Aktivitas intelektual Natsir di Bandung makin matang sejak ia aktif di Persatuan Islam (Persis) bersama Tuan A. Hassan. Ia bahkan terlibat dalam pendirian majalah Pembela Islam pada tahun 1929.
Sayang majalah yang dikelola Natsir tersebut dibredel pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1935, majalah tersebut dituduh menyerang misi Kristenisasi di Indonesia.
Natsir adalah sosok ulama intelektual yang dikenal gigih melawan gerakan zending di Hindia Belanda. Bahkan sejak periode tahun 1920-an hingga 1930-an, ia kerap berkonfrontasi dengan gerakan nasionalis sekuler dan juga zending.
Ia juga melawan penistaan agama yang dilakukan oleh Ten Berge. Pastur berkebangsaan Belanda itu menulis artikel penghinaan terhadap Nabi Muhammad dalam majalah Studien edisi tahun 1931.
“Berge, pada April 1931, menulis artikel dalam majalah Studien bahwa Muhammad itu seorang antropomorphis, Arab buta huruf, pemuas nafsu syahwat yang kasar yang biasa tergolek di atas pangkuan perempuan,” ungkap Achmad Irwan Hamzani dalam bukunya Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran.
Ulama bergelar Datok Sinaro Panjang ini pun membalas artikel penistaan agama itu lewat tulisannya di Pembela Islam. Ia menuliskan sebuah artikel berjudul Islam, Khatoliek dan Pemerintah.
Berikut kutipan pernyataan Moh. Natsir di Pembela Islam:
“Sungguh cukup lama kita kaum Islam mendengarkan, membiarkan segala macam rengakan kepada Islam. Ada cara halus dan ada cara kasar, dari pihak politik sebagai Snouck Hurgronye sampai kepada Kristen Protestan Kraemer dan Crhistoffels, dari jahil murakab Oie Bie Thai sampai Kristen Katholiek, belum disebut lagi murid-muridnya politikus, Protestan dan Katholiek itu yang menamakan diri mereka Neutral Agama.”
DDII
Ikhtiarnya dakwahnya tetap berlanjut ketika pada era kemerdekaan ia dicekal di dunia politik. Ia mendirikan laboratorium dakwah bernama Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII).
Ia menaruh perhatian serius pada gerakan Kristenisasi pasca pemberontakan G 30 S/PKI. Pasca pendirian DDII, tepatnya pada 1 Januari 1968, ia secara tegas meminta para misionaris Kristen untuk tidak mengganggu kaum muslimin.
Melalui DDII ulama yang wafat pada 6 Februari 1993 atau untuk mendidik calon-calon da’i yang akan dikirimkan ke pelosok negeri. Ia tidak hanya mengirimkan ribuan da’i tapi juga mendirikan ribuan masjid.
“Semangatnya hanya satu, api Islam tak boleh padam,” ungkap Achmad Irwan Hamzani.
Penulis: Kukuh Subekti