“Setelah saya keluar dari Baghdad, tak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih saleh, dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal.”
(Imam Syafi’i)
ISLAMTODAY ID— Imam Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad Hanbal atau Imam bin Hanbal merupakan imam terakhir dari empat imam mazhab dalam Islam. Mazhab Hambali banyak dianut di jazirah Arab, Palestina, Suriah hingga Irak.
Ia adalah ilmuwan yang lahir di kota pusat peradaban ilmu di dunia, Baghdad. Lahir pada November 780M dan wafat di kota yang sama pada 17 Juli 855 M.
Pada umur 15 tahun ia telah mampu menghafal Al-Qur’an. Selain memiliki hafalan yang bagus, ia juga mahir dalam menulis Arab.
Sejak muda telah tertarik pada ilmu hadits dan fiqih. Maka sejak umur 15 tahun ia mulai belajar ilmu fiqih dan hadits kepada guru-gurunya dibidang fiqih ialah Imam ash-Shafi’i, dan Imam Abu Yusuf.
Sementara guru di bidang ilmu hadits ialah Hisham, Sufyan bin Aina. Pengembaraan intelektualnya dilakukan hingga ke sejumlah kota diantaranya Mekah dan Yaman.
Penulis 30 Ribu Hadits
Semasa hidupnya ia dikenal sebagai seorang ahli hadits. Salah satu kitab kumpulan hadits karyanya yang terkenal ialah Musnad Ahmad. Kitab tersebut berisi hampir 30 ribu hadits.
“Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk mempelajari hukum dan agama. Dia sering berpergian untuk belajar hadits dan fiqih,” ungkap M. Atiqul Haque dalam bukunya 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia.
Imam bin Hanbal dikenal sangat mencintai hadits. Ia selalu mempertimbangkan hukum dengan menggunakan hadits daripada Ijma ataupun Qiyas.
Ia hanya dalam beberapa kesempatan saja menggunakan ijma sebagai sumber hukum. Ia berpendapat penggunaan Ijma hanya memungkinkan di era para Sahabat Nabi.
“Karena sedikitnya jumlah mereka, daripada di masa selanjutnya ketika para ahli hukum lebih banyak jumlahnya dan lebih tersebar luas karena penyebaran Islam ke seluruh dunia,” tutur Atiqul.
Alasan mengapa Imam bin Hanbal membatasi Ijma ialah adanya hadits Nabi yang mengatakan, “Kalian adalah orang-orang terbaik: Sahabat-sahabatku tak akan pernah menerima sebuah kesalahan.”
Namun demikian, ia juga memiliki pertimbang lain dalam penggunaan Ijma. Ijma bisa saja dilakukan jika semua syarat Ijma terpenuhi.
Sementara dalam hal penggunaan Qiyas, ia hanya mengizinkan jika diperlukan saja. Bagi penganut mazhab Hanbali Qiyas itu berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
“Apapun argumentasi pendukung Qiyas, kaum Hanbali meminimalkan Ijma dan Qiyas, dan umumnya cenderung ke hadits,” ujar Atiqul.
Kehidupan intelektualnya juga diwarnai oleh tantangan. Ia rela mendekam di dalam penjara dari pada menerima paham Mu’tazilah yang menyebut Al-Qur’an sebagai karangan.
Ia pun akhirnya bisa hidup bebas pada masa Khalifah al-Mutawakkil. Ia diberikan penghargaan oleh khalifah Abbasiyah itu, bahkan keluarganya pun mendapatkan santunan dari khalifah.
Penulis: Kukuh Subekti