ISLAMTODAY ID— KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah. Siapa sangka, ulama dari Kauman Yogyakarta ini pernah menggunakan pendekatan kebudayaan dalam dakwahnya..
Strategi-strategi KH Ahmad Dahlan pun digunakannya pada masa perjuangan mendirikan Muhammadiyah. Ia tidak hanya harus piawai dalam menghadapi pemerintah kolonial namun juga sesama umat Islam di Jawa.
Strategi kebudayaan KH Ahmad Dahlan diungkapkan oleh Ahmad Najib Burhani seorang peneliti dari LIPI. Ia dalam bukunya berjudul Muhammadiyah Jawa itu mengungkap berbagai startegi dakwah KH Ahmad Dahlan.
“Ahmad Dahlan menunjukkan penghargaannya terhadap budaya ini. Ia tidak berlaku arogan di hadapan raja dan budaya Jawa, tetapi merasa bahwa ia adalah bagian dari budaya dan kerajaan Jawa,” kata Najib.
Berbagai strategi dakwah ditunjukkan oleh KH Ahmad Dahlan mulai dari kalender Jawa, bahasa hingga busana Jawa. Hal itu dinilai sebagai wujud penghargaan sang kiai terhadap berbagai budaya Jawa.
Berikut ini strategi-strategi dakwah KH Ahmad Dahlan di bidang kebudayaan:
Kalender Jawa
KH Ahmad Dahlan memilih tetap menggunakan kalender Jawa yang merupakan karya Sultan Agung Hanyokrokusumo sejak tahun 1630. Kalender tersebut digunakannya bersamaan dengan penggunaan kalender tahun hijriyah dan masehi.
“Muhammadiyah dulu menggunakan kalender Jawa (tahun Saka), bersamaan dengan kalender Arab (Hijriah) dan Gregorian (Masehi) dalam surat-menyurat dan laporan-laporan mereka,” tutur Najib.
“Almanak-al-manak Muhammadiyah menunjukkan hal ini,” tegasnya.
Penggunaan kalender Jawa mulai ditiadakan pasca Kongres ke-26 di Surabaya tahun 1926. Saat itu keputusan kongres mulai mengatur hanya tahun hijriyah dan masehi saja yang dicantumkan dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah.
Grebeg Keraton
Kesultanan Yogyakarta sebagaimana tradisi kerajaan Mataram Islam memiliki tiga upacara grebeg. Tiga grebeg yang menjadi agenda rutin tahunan itu ialah Grebeg Mulud ( Peringatan hari lahir Nabi Muhammad), Grebeg Besar (Hari Raya Kurban), dan Grebeg Pasa (Akhir Ramadhan).
KH Ahmad Dahlan sebagai abdi dalem berupaya melakukan dialog khusus dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Salah satunya terkait pelaksanaan Grebeg Besar, agar dilaksanakan setelah hari pelaksanaan Shalat Ied.
“Suatu ketika Ahmad Dahlan menyatakan bahwa para anggota Muhammadiyah harus menaruh segenap perhatian pada beberapa tradisi Jawa yang tampak menyimpang dari aturan-aturan Islam,” ungkap Najib.
Bahasa Jawa
Islam sangat identik dengan penggunaan bahasa Arab, seperti terlihat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Namun dalam hal dakwah Islam sangat fleksibel, berbagai bahasa lokal di dunia bisa menjadi perantaranya.
KH Ahmad Dahlan bahkan menggunakan bahasa Jawa untuk berdakwah. Strategi penggunaan bahasa lokal sebagai bahasa dakwah terlihat dalam penerbitan surat kabar Soewara Moehammadijah.
“Alih-alih menggunakan Arab pegon (bahasa lokal dalam aksara Arab) yang umum di kalangan umat Islam kala itu, pada 1915 Muhammadiyah menerbitkan Soewara Moehammadijah dalam bahasa Jawa dan Melayu,” tutur Najib.
Muhammadiyah periode KH Ahmad Dahlan juga melakukan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa dan Melayu. Selain menerjemahkannya ke dalam dua bahasa itu, Muhammadiyah juga mengeluarkan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu serta Jawa baik aksara Jawa maupun latinnya.
“Muhammadiyah menerbitkan satu edisi al-Qur’an dalam bahasa Melayu dan dua edisi dalam bahasa Jawa satu beraksara Jawa, dan satu lagi beraksara Latin,” ungkap Najib.
Gerakan dakwah Muhammadiyah yang revolusioner lainnya ialah penggunaan aksara Jawa pada sejumlah produk jurnalistiknya. Surat kabar seperti Pepadanging Moehammadijah, dan Soengoeting Moehammadijah.
KH Ahmad Dahlan bahkan mendorong agar khutbah jum’at di masjid-masjid di Jawa khususnya menggunakan bahasa Jawa. Tujuannya agar tujuan dari khutbah itu bisa tepat sasaran.
Busana Jawa
Berbusana merupakan salah satu ekspresi budaya masyarakat yang khas. Busana tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh tapi juga identitas masyarakat.
Moehammadiyah sangat fleksibel, ia tidak meniru 100 % Barat namun juga tidak meninggalkan budaya Jawa. Pada masa itu mencari orang Muhammadiyah yang berbusana Arab sangat sulit.
“Untuk menemukan anggota Muhammadiyah yang meniru persis gaya berbusana Arab dalam sehari-sehari mereka ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Mereka lebih suka mengenakan busana tradisional yang, kadang-kadang, dipadukan dengan busana Barat,” ujar Najib.
Fakta ini juga diungkapkan oleh Orientalis Belanda, R. Kern. Ia menjelaskan bahwa praktik berbusana Jawa terus berlanjut pasca wafatnya, KH Ahmad Dahlan pada 23 Februari 1923.
Laporan orientalis kepada pemerintah kolonial Belanda tersebut menjelaskan tentang pelaksanaan Kongres Muhammadiyah tahun 1925 di Yogyakarta. Pada saat itu banyak peserta yang masih menggunakan cara-cara berbusana khas Jawa.
Kongres Muhammadiyah tahun 1929 bahkan mewajibkan kepada para peserta utusan kongres untuk menggunakan pakaian adatnya. Dalam buku agenda acara kongres ke-18 Muhammadiyah di Solo itu panitia secara khusus menuliskannya sebagai prasyarat kongres.
Peringatan bagi Oetoesan: “Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak melanggar Sjara’. Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja.”
Identitas budaya Jawa itu bisa kita lihat dalam berbagai foto-foto bersejarah. Para tokoh Muhammadiyah banyak menggunakan atribut busana Jawa seperti blangkon atau kuluk, beskap atau atela dan sering kali menggunakan kain batik sebagai sarung.
Penulis: Kukuh Subekti