ISLAMTODAY ID— Meulaboh, ibukota Kab. Aceh Barat memiliki peran penting dalam sejarah Perang Aceh. Kota ini menjadi basis perlawanan salah satu pejuang Aceh, Teuku Umar.
Sebelum meletus Perang Aceh antara tahun 1873 sampai 1942, Meulaboh telah dilirik oleh berbagai bangsa di dunia. Para pedagang dari berbagai bangsa seperti Timur Tengah, India, Inggris, Portugis, Amerika Serikat hingga Belanda.
Sebagai penghasil lada, Meulaboh juga didukung dengan lokasinya sebagai bandar perdagangan yang strategis. Meulaboh merupakan satu dari tiga pelabuhan strategis di Aceh selain Banda Aceh dan Piddie.
Memasuki abad ke-19 Masehi, Belanda mulai berambisi menguasai daerah-daerah penghasil lada, termasuk Meulaboh. Kolonialis Belanda bahkan menginginkan Meulaboh sebagai pusat kekuasaanya di bagian Barat atau Westkut van Atjeh.
Upaya ini sontak mendapatkan perlawanan dari para pejuang Aceh. Kisah perlawanan mereka diabadikan dalam beberapa hikayat seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Tengku Di Meukek, Hikayat Teungku Cut Ali.
Belanda ingin mendesain Meulaboh sebagaimana VOC mendesain Batavia. Belanda mendatangkan Cornelis van Vollenhoven seorang orientalis Belanda yang ahli di bidang hukum adat.
Meulaboh sama seperti daerah lain di Kesultanan Aceh yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam, Qanun Al-asyi. Pelaksanaan syariat Islam di Meulaboh bersumber dari Qur’an dan Hadist, adat, qanun, dan reusam.
Berikut ini sejarah singkat tentang Kota Meulaboh dalam sejarah peperangan yang terjadi di Aceh, yang dimuat dalam Meulaboh dalam Lintas Sejarah Aceh karya Teuku Dadek Hermansyah:
Kedatangan Belanda
Tahun 1874 adalah tahun- tahun pertama Belanda mulai menjalankan berbagai cara demi meraih simpati rakyat Meulaboh. Mereka mendekati para hulubalang di Meulaboh dan menawarkan mereka kontrak perjanjian dengan Belanda.
Rakyat Meulaboh mulai melakukan perlawanan terbuka terhadap Belanda pada 3 Maret 1877. Tidak hanya melakukan perlawanan mereka juga membuat para serdadu Belanda di Meulaboh merasa tidak nyaman.
“Pasukan Belanda selalu mendapat teror dimana saja terdapat bivak dan posko, khususnya Merbau, Penaga, Ujung Tanjung, Meulaboh menjadi daerah maut bagi serdadu,” ungkap Teuku Dadek.
Belanda sangat sukar dalam menaklukkan rakyat Meulaboh. Pasalnya dalam setahun pos-pos Belanda sering diserang hingga sembilan kali, tidak hanya itu Belanda bahkan mengganti pemimpin militernya hingga enam kali.
Para pejuang di Meulaboh cukup jeli dalam beradu siasat. Misalnya ketika Belanda menginginkan pengakuan kekuasaannya kepada Teuku Kejuruan Chik Lela.
Perjanjian fiktif yang dilakukan pada 24 Februari 1877 itu dilakukan ketika Teuku Kejuruan Chik Lela tak lagi berkuasa. Ia telah menyerahkan kekuasaanya kepada anaknya.
“Kontrak politik itupun hanya siasat dan tipudaya belaka. Sampai pada permulaan tahun 1878 tidak ada kegiatan militer Belanda di bagian Meulaboh,” jelas Teuku Dadek.
Penahanan Kapal
Strategi perjuangan yang pernah dijalankan di Kota Meulaboh ialah penahanan kapal-kapal asing. Aksi pertama terjadi pada November tahun 1883, ketika kapal Inggris SS Nisero singgah di Teunom.
Masuknya kapal Inggris ini segera ditindak tegas oleh Teuku Imam Muda. Ia menawan 29 awak kapal yang sebagian besar berkebangsaan Inggris, sisanya berasal dari Belanda, Jerman, Norwegia, Italia, Amerika dan China.
Aksi penawanan terhadap kapal-kapal asing di perairan Meulaboh berikutnya ialah Kapal Hok Canton. Kapal berbendera Belanda itu ditawan oleh Panglima Laut Aceh bagian Barat, Teuku Umar.
Pada peristiwa ini, Kapten Hansen meninggal dunia sementara istrinya dan beberapa awak kapal lainnya disandra. Pihak Belanda diminta menebusnya sebanyak 40ribu gulden.
Taktik penahanan kapal dinilai sebagai strategi ‘jual-beli’ yang dilakukan oleh Teuku Imam Muda dan diikuti oleh Teuku Umar. Strategi ini digunakan untuk mengumpulkan sumber pendanaan perang hingga melunakkan sikap Belanda yang selama ini cenderung brutal ketika diplomasi.
“Faktor-faktor penyanderaan dilakukan oleh pejuang-pejuang Aceh di Meulaboh merupakan akumulasi balas dendam atas penyanderaan tokoh-tokoh pejuang Aceh oleh Belanda,”
Sisi kemanusiaan tetap ditunjukkan para pejuang Aceh. Sebagai tawanan perang, para awak kapal yang ditawan tetap diberlakukan dengan baik.
“Kesimpulan laporan resmi Belanda tentang tawanan tersebut yang mengatakan bahwa de gevangenen zijn over het algemeen redelijk goed behandeld, (artinya) umumnya para tawanan
dipelihara dengan bagus,” ujar Teuku Dadek.
Aksi penahanan kapal-kapal asing juga dilatarbelakangi oleh aturan dagang Belanda yang diterapkan oleh Gubernur Belanda di Aceh, Laging Tobias pada 1 Januari 1883. Meulaboh termasuk kawasan pelayaran yang dikenai aturan semena-mena Belanda.
Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah menyebutkan sejumlah ketentuan yang diterapkan oleh Laging Tobias: pertama, pembukaan beberapa tempat untuk perdagangan umum, yaitu Lhokseumawe, Idi, Samalanga, Ulee Lheue, Meulaboh dan Tapak Tuan; kedua, segala impor-ekspor harus melalui tempat-tempat di atas dan di bawah pengawasan yang keras; tiga, bea masuk dan keluar dibagi menurut adat, tetapi yang sedianya untuk sultan dimasukkan dalam kas Hindia Belanda dan yang selebihnya buat raja-raja yang bersangkutan.
Kota Meulaboh juga melahirkan banyak pejuang yang gugur syahid diantaranya ada Teuku Umar, Teuku Amin, Teuku Abas, Teuku di Rundeng, Teuku Malem, Teuku Kejuruan Muda, Panglima Nyak Asan, Teungku Krueng Kuta Pasi, Teungku Syeh Dawud, Teuku Syeh Dawud.
Penulis: Kukuh Subekti