ISLAMTODAY ID— Pahlawan-pahlawan Perang Aceh diantaranya banyak diisi oleh mereka yang berasal dari ulama atau keluarga ulama. Tidak jarang mereka berasal dari satu keluarga yang sama, suami-istri, orang tua-anak, mertua-menantu dan lain sebagainya.
Berikut ini merupakan sambungan dari artikel sebelumnya tentang Pahlawan-pahlawan Perang Aceh. Mereka terdiri atas laki-laki dan perempuan Aceh yang saling bekerjasama melawan pasukan Belanda.
Cut Meutia
Muslimah Aceh yang juga turut berjihad ialah Cut Meutia. Ia lahir pada 15 Februari 1870, tiga tahun sebelum meletusnya Perang Aceh.
Ia merupakan putri pasangan ulama bangsawan Pirak, Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Kiprah perjuangannya mengikuti ayah beserta suaminya.
Cut Meutia menikah hingga tiga kali. Pernikahan pertamanya kandas akibat perbedaan sikap berjuang. Teuku Syamsarif cenderung berpihak pada Belanda dan tidak berpihak pada perjuangan Aceh.
Jalan jihad fi sabilillah Cut Meutia dimulai ketika ia menikah dengan Teuku Chik Muhammad. Sejak tahun 1901, keduanya aktif berperang gerilya dari lembah ke lembah, gunung ke gunung.
Ia dan suaminya bahkan mampu memporak-porandakan benteng pertahanan Belanda. Salah satunya dengan banyak menyebar telik sandi yang menyamar sebagai penduduk biasa.
Kolaborasi keduanya berakhir ketika Belanda memfitnah Teuku Chik Muhammad sebagai dalang Peristiwa Meurandeh Paya pada 26 Januari 1905. Ia pun dihukum mati di Masjid Mon Geudong pada Maret 1905.
Menjelang detik-detik kematiannya, Teuku Chik Muhammad meminta Pang Nanggroe menikahi Cut Meutia. Dengan harapan kedua orang terdekatnya itu bisa melanjutkan jihad melawan Belanda.
Cut Meutia dan Pang Nanggroe pun melanjutkan perjuangan. Tepat pada 6 Mei 1907, keduanya berhasil menyerbu pos darurat Belanda dan merampas 10 pucuk senapaan, dan 750 butir peluru.
Semangat perjuangan sosok Cut Meutia tak kendur meskipun partnernya itu akhirnya syahid di medan pertempuran pada 25 September 1910. Sebulan kemudian, 24 Oktober 1910 ia pun syahid menyusul sang suami.
Pocut Baren
Seorang muslimah yang lahir di Aceh Barat pada tahun 1880. Ia adalah ulama perempuan yang wafat di Aceh Barat pada tahun 1933.
Putri dari tokoh ulama ternama Aceh, Teuku Cut Ahmad. Dari sang ayah pulalah darah pahlawan itu menglir dari dalam dirinya.
Ia memimpin perang Aceh selama tujuh tahun lamanya terhitung sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Terutama setelah Cut Nyak Dhien ditangkap dan diasingkan Belanda ke Sumedang.
Belanda bahkan dibuat kewalahan menghadapi serangkaian perang gerilyanya. Mereka butuh waktu hingga empat tahun lamanya untuk mengetahui persembunyian Pocut Borun.
Perlawanannya terhenti ketika kakinya terpaksa diamputasi. Belanda bahkan hadiahi kaki palsu untuk menarik simpatinya.
Panglima Polim
Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud. Diangkat sebagai Panglima Polim IX pada Januari 1891.
Ia berkuasa atas daerah XXII Mukim. Merupakan pejuang yang dikenal sangat anti terhadap kolonial Belanda.
Dalam sejarah Aceh terdapat gelar kepangkatan khusus yakni Panglima Polim. Sebelum Panglima Polim IX terjun ke medan perang, Perang Aceh telah diikuti oleh Panglima Polim VIII.
Pasca peristiwa jatuhnya Masjid Raya Baiturahman ke tangan Belanda pada tahun 1873, Sultan dan Panglima Polim VIII bersama-sama memimpin perlawanan terhadap penjajah.
Selain itu ia juga berperang melawan Belanda dengan almarhum suami pertama Cut Nyak Dien, Teuku Lamnga. Panglima Polim VIII dan Teuku Lamnga termasuk pimpinan pasukan yang dihormati dan disegani masyarakat Aceh.
Pengaruh keduanya membuat mereka mudah mencari simpati dan empati rakyat Aceh. Ia adalah tokoh pemersatu para pejuang Aceh.
Syahidnya Teuku Lamnga membuat pasukan Aceh berada di bawah pimpinan Panglima Polim VIII. Ia juga mendukung Gerakan Angkatan Perang Sabil yang dipimpin oleh Teuku Cik di Tiro.
Panglima Polim VIII dan Teuku Umar syahid pada periode tahun yang sama, 1891 M. Sejak saat itu kepemimpinan perang Aceh dipimpin oleh Panglima Polim IX.
Meneruskan perjuangan sang ayah, Panglima Polim IX giat melakukan perlawanan diantaranya bekerjasama dengan Sultan Aceh, Mohammad Daud Syah. Keduanya bahkan bermusyawarah menyusun strategi perjuangan di tanah Gayo pada tahun 1901.
Namun sayangnya Belanda berhasil membuat ia dan Sultan Daud Syah tunduk. Jika Sultan tunduk pada awal tahun 1903, ia akhirnya dipaksa tunduk pada Belanda pada 7 September 1903.
Penulis: Kukuh Subekti