“Anak-anakku semuanya, kalau kamu sudah dapat pendidikan Islam dan kalau kamu sudah sama dewasa, ditakdirkan Allah SWT yang maha luhur, kamu dijadikan orang tani, tentu kamu bisa mengerjakan pertanian secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi saudagar, jadilah saudagar secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi prajurit, jadilah prajurit menurut Islam; dan kalau kamu ditakdirkan menjadi senopati, jadilah senopati secara perintah Islam. Hingga dunia diatur sesuai dengan azas-azas Islam…”.
(Amanat HOS Tjokroaminoto di Yogyakarta pada 24 Agustus 1925)
ISLAMTODAY ID— Sistem pendidikan ala Barat pada era kolonial membuat umat Islam Hindia Belanda dalam posisi terendah. Mereka dipaksa melepas ikatan agama jika ingin maju sebagaimana majunya Barat.
Pendirian sekolah mulai banyak dilakukan seiring berlakunya politik etis (1901-1942). Sekolah-sekolah Eropa tersebut sejak awal disetting menjadi sekolah netral agama.
“Secara berangsur-angsur dan terarah menjauhkan rakyat pribumi dan keterkaitan dengan ajaran mereka, Islam,” ungkap Dr. Zaini Dahlan M.Pd.I dalam Sejarah Pendidikan Islam.
Situasi ini membuat para aktivis dan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI) merasa prihatin. Mereka berikhtiar merintis berdirinya sekolah-sekolah modern sesuai dengan tuntutan zaman.
Sekolah-sekolah Belanda ini berkembang cukup masif hingga ke desa-desa pada masa Gubernur Jenderal Van Heutz. Ia dan Snouck Hurgronje pernah bekerjasama selama berada di Aceh.
Situasi inilah yang mendorong berbagai organisasi Islam mendirikan sekolah-sekolah Islam. Berbagai organisasi Islam seperti Sarekat Islam (SI), Al-Irsyad, Muhammadiyah, hingga Nahdlatul Wathan mengambil peran di bidang pendidikan.
Pendidikan SI
Kiprah perjuangan SI dalam bidang pendidikan salah satunya terungkap dalam tulisan HOS Tjokroaminoto yang berjudul Moeslim Nationaal Onderwijs. Tujuan pendidikan ialah dalam rangka mewujudkan muslim yang sejati dalam rangka menuju cita-cita kemerdekaan.
Tujuan pendidikan SI sebagaimana yang digagas oleh HOS Tjokroaminoto ini mulai dirumuskan pasca Kongres SI bulan Agustus 1925 di Yogyakarta.
Jenjang pendidikan SI terdiri atas tiga tingkatan jenjang pertama, kedua, dan ketiga. Di setiap jenjang memiliki pelajaran yang khas di tingkatan pertama misalnya terdapat pembelajaran bahasa Arab, Al-Qur’an dan tajwid.
Jenjang menengah siswa diberikan materi tentang fikih dari semua madzhab, akidah, sejarah Islam hingga ilmu hadist. Khusus tentang hadist berkaitan dengan tata krama sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada jenjang ketiga siswa mulai diajarkan materi tambahan seperti ilmu hukum, politik hingga kedokteran. Pada bagian ilmu tentang Islam seperti fikih, tafsir, hadis dan sejarah Islam dilakukan pendalaman.
Madrassatoel Ibtidaiyah- SI Bandung
Salah satu sekolah atau madrasah yang berdiri di Hindia Belanda ialah Madrassatoel Ibtidaiyah. Sekolah Islam milik SI ini didirikan oleh para aktivis SI Cabang Bandung pada 12 April 1915.
Rencana pendirian sekolah khusus pribumi muslim ini dimuat dalam surat kabar Kaoem Moeda. Sebuah surat kabar milik SI Cabang Bandung yang sudah berdiri sejak tahun 1912.
“Pengurus Sarekat Islam Bandung mengumumkan pertama kalinya dalam Kaoem Moeda edisi 20 Maret 1915 bahwa A. H. Wignyadisastra dan kawan-kawan akan mendirikan sekolah partikelir,” ungkap Hafidz Adzhar dalam Sarekat Islam Bandung Mendirikan Madrassatoel Ibtidaiyah.
Sekolah SI tersebut direncanakan akan menempati sebuah rumah di Jalan Andir, Bandung. Sekolah ini menjadi sekolah pertama di Jawa Barat yang mengajarkan materi agama dan umum.
Para aktvis SI juga mendermakan dirinya sebagai guru di sekolah tersebut. Mereka adalah Abdul Muis calon guru untuk pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
Sementara Achmad sebagai guru agama Islam, lalu PM Lambach sebagai pengajar bahasa Belanda. Tidak hanya itu sang pemilik rumah yang sedianya akan ditempati sebagai sekolah untuk Madrassatoel Ibtidaiyah merangkap sebagai guru dan kepala sekolah.
Pada perkembangannya turut bergabung pula Nyai Raden Soemarni sebagai guru istri.
Dilansir dari bandungbergerak.id edisi 19 Juni 2021, Hafidz yang merupakan alumnus pasca Kajian Budaya UNPAD mengungkapkan jika sekolah milik SI ini bertujuan untuk anak-anak yang membutuhkan dan juga anak-anak para aktivis SI.
Madrassatoel Ibtidaiyah direncanakan akan mulai membuka pendaftaran pada 1 April 1915. Namun karena perlunya persiapan yang matang pendaftaran baru dibuka pada 6 April 1915.
Kehadiran sekolah Islam ini rupanya sangat diharapkan oleh umat Islam di Jawa Barat. Terbukti dengan banyaknya siswa pendaftar yang mencapai 108 orang.
Jumlah tersebut bahkan membuat sekolah terpaksa membaginya dalam dua gelombang, pagi dan sore. Mereka akan menempati ruang kelas secara bergantian pagi dan sore.
“Sebanyak 80 siswa untuk sekolah pagi, dan 28 anak untuk sekolah sore,” tutur Hafidz.
Berita tentang membludagnya calon siswa pada hari pertama di sekolah SI itu dimuat dalam surat kabar Kaoem Moeda edisi 6 April 1915. Jumlah tersebut terus bertambah sebab pendaftaran untuk kelas sore terus dibuka hingga tanggal peresmian pada 12 April 1915.
“Jumlah siswa yang sudah masuk sebanyak 181 orang untuk kelas pagi dan sore. Sebanyak 83 anak yang masuk pada pukul 8-9 pagi, sementara 48 siswa untuk pukul 14.30-17.30,” jelas Hafidz.
Peresmian sekolah SI ini dihadiri oleh para aktivis SI, tokoh-tokoh SI dan pejabat saat itu. Di antara mereka yang hadir adalah Patih Bandung, Asisten Wedana Bojongloa, wakil penghulu, anggota pengadilan agama.
Pendirian sekolah milik SI telah berlang di sejumlah kota seperti Cianjur, Betawi, Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan Surabaya.
Pendiri: Kukuh Subekti