ISLAMTODAY ID— Bulan April bukan hanya hari spesial milik Kartini, bulan April juga bulan bersejarah bagi Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah.
Tepat tanggal 22 April organisasi pelopor pergerakan nasional perempuan itu berganti nama dari Sopo Tresno menjadi Aisyiyah. Nama baru yang diusulkan oleh K.H. Fakhrudin.
Gerakan perempuan ini dipelopori oleh para gadi terpelajar asal Kauman, Yogyakarta. Diantara mereka yang menjadi pelopor ialah Siti Bariyah, Siti Badilah Zuber, Aminah Harawi, Siti Dawimah, Siti Dalallah, Siti Busyro (Putri K.H. Ahmad Dahlan), Siti Dawingah, Ny. Abdullah Fathmah Wasit, dan Siti Wadingah.
Sebagai organisasi pergerakan Aisyiyah melakukan berbagai gebrakan organisasi. Aisyiyah bercita-cita untuk memajukan kaum perempuan terutama melalui jalur pendidikan.
Aisyiyah membentuk program pendidikan khusus muslimah bernama Siswa Praja Wanita. Hal ini dalam rangka untuk melakukan proses pembinaan dan pengembangan kaum perempuan di luar sekolah.
Mendirikan badan khusus untuk mengurusi madrasah perempuan, Urusan Madrasah. Lalu membentuk Urusan Tabligh untuk mengurusi kajian dan dakwah kepada para muslimah.
Aisyiyah juga sangat peduli dalam hal sosial, hal ini ditandai dengan pembentukkan Urusan Wal ‘Ashri. Badan ini bertujuan untuk mengurusi masalah beasiswa bagi yang membutuhkan.
Pada masanya Aisyiyah juga mempelopori berdirinya lembaga pendidikan untuk usia dini. Pada tahun 1919 dibentuklah Frobelschool.
“Frobelschool ‘Aisyiyah ini merupakan Taman Kanan-Kanak pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia untuk semua kalangan.,” dikutip dari Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri.
Seiring bertambah banyaknya sekolah atau madrasah yang dimiliki oleh Aisyiyah, dibentuklah Urusan Pengajaran.
Selain peduli terhadap pendidikan anak-anak, Aisyiyah juga memperhatikan kebutuhan bagi perempuan yang sudah berkeluarga. Dibentuklah Biro Konsultasi Keluarga.
Berikut ini profil singkat sang pendiri Aisyiyah dan Ketua Pertama Aisyiyah:
Siti Walidah
Siti Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872, lebih tua tujuh tahun dari Kartini. Merupakan putri dari penghulu Kraton Yogyakarta, K.H. Muhammad Fadhil.
Ia menikah dengan K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1889. Kiprahnya dalam organisasi pergerakan perempuan dimulai dengan merintis majelis pengajian Sopo Tresno pada tahun 1914.
Setelah Aisyiyah berdiri pada tahun 1917, Siti Walidah duduk sebagai penasihat dan pelindung. Ia memberikan dedikasi tenaga, pikiran dan waktunya untuk menumbuh kembangkan Aisyiyah.
Siti Walidah dikenal dengan konsep pendidikannya, Catur Pusat. Keberhasilan pendidikan merupakan gabungan dari pendidikan di keluarga, sekolah, masyarakat dan masjid.
Ia sangat menentang ungkapan dalam masyarakat Jawa, ‘Wong wadon iku swarga nunut, nerakane katut wong lanang.’ Artinya perempuan itu masuk surganya ikut suami, masuk nerakanya juga terikut suami.
Ia wafat pada hari Jum’at, 31 Mei 1946, jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Besar Kauman, Yogyakarta.
Siti Bariyah
Siti Bariyah merupakan Ketua Aisyiyah untuk dua periode berbeda, sejarah mencatatnya sebagai ketua periode pertama 1917 sampai tahun 1920. Lalu, ia kembali terpilih sebagai Ketua Aisyiyah untuk periode tahun 1927 hingga 1929.
Putri dari K.H. Hasyim Ismail ini merupakan kader perempuan Muhammadiyah yang dididik langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.
Saudara kandung dari Ki Bagus Hadikusumo ini lahir di Yogyakarta pada tahun 1906 bertepatan dengan tahun 1325 H. Kiprahnya di Aisyiyah diawali dengan keikutsertaanya dalam kelompok kajian Sopo Tresno pada tahun 1914.
Siti Bariyah termasuk kader Muhammadiyah yang kerap diajak K.H. Ahmad Dahlan melakukan safari dakwah. Saat itu kantor-kantor milik pegawai pemerintah kolonial dan dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah menjadi obyek dakwah Muhammadiyah.
Ia merupakan figur kader Muhammadiyah yang cerdas. Menguasai dua bahasa intelektual masa itu, Belanda dan Melayu.
K.H. Ahmad Dahlan kerap mengajaknya untuk melakukan safari dakwah dari sekolah-sekolah hingga kantor-kantor pemerintah. Ia kerap diminta untuk menerjemahkan bahasa Arab dalam Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu atau pun Belanda.
Siti Bariyah bahkan dipercaya oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk menuliskan tafsir Muhammadiyah. Karya intelektual Siti Bariyah itu berjudul Tafsir Maksoed Moehammadijah yang dimuat dalam Majalah Soeara Moehammadijah nomor 9 tahun 1923.
Tokoh perintis berdirinya Majalah Soeara Aisyiyah (1926) ini wafat pada tahun 1931.
Penulis Kukuh Subekti