ISLAMTODAY ID— Kyai Haji (KH) Mas Mansyur salah seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang hidup antara tahun 1896 hingga tahun 1946. Ia dikenal dalam kiprah perjuangannya untuk membebaskan umat Islam dari belenggu kejumudan, kebodohan dan kemiskinan.
Kiprah dan perjuangannya pun sangat beragam. Ia tidak hanya berdiri di balik mimbar ceramah namun juga berjuang membersamai umat baik dalam aspek pendidikan, sosial maupun politik.
Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu persoalan yang pernah menarik kepeduliannya. Pada tahun 1916, ia menjadi Kepala Madrasah di Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Kyai Wahab Chasbullah di Surabaya.
Keterlibatannya dalam mengelola Madrasah Nahdlatul Wathan tidak berlangsung lama. Pada tahun 1922, dia memutuskan keluar dari Nahdlatul Wathan.
Posisi Kepala Madrasah Nahdlatul Wathan pun dilanjutkan oleh sepupunya, K.H. Mas Alwi Abdul Aziz.
Sejak saat itu, K.H. Mas Mansyur memutuskan untuk aktif di Muhammadiyah Surabaya. Cabang Muhamamdiyah yang didirikannya bersama K.H. Fakih Hasyim pada 1 November 1921.
Pada periode yang sama dengan pendirian Nahdlatul Wathan, K.H. Mas Mansyur juga aktif dalam Taswirul Afkar. Sebuah kelompok diskusi Intelektual Islam yang didirikan ia bersama K.H. Wahab Chasbullah.
Pendirian Taswirul Afkar yang melibatkan tokoh Budi Utomo Surabaya, Mangun itu juga dalam rangka dakwah. Ikhtiar yang dilakukan oleh K.H. Mas Mansyur dan K.H. Wahab Chasbullah ini dalam rangka mendakwahkan Islam kepada anggota Budi Utomo.
“(K.H.) Wahab Chasbullah dan (K.H.) Mas Mansyur sebagai pendirinya memiliki hubungan yang rapat dengan tokoh-tokoh Budi Utomo Surabaya, karena itu bisa saja mereka berfikir untuk memberikan pemahaman Islam kepada para anggota Budi Utomo yang memang kurang pengetahuannya tentang Islam,” kata Safrizal Rambe dalam Sang Penggerak Nahdlatul Ulama.
Organisasi Keulamaan
Dalam bidang dakwah K.H. Mas Mansyur terlibat dalam sebuah organisasi ulama Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Bahkan ia termasuk tokoh yang memprakarsai berdirinya MIAI pada tanggal 18 sampai 21 September 1937.
Keterlibatan K.H. Mas Mansyur dalam organisasi para ulama ini terus berlanjut hingga berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) 22 November 1943. Ia terpilih sebagai Wakil Ketua Masyumi sedangkan KH Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Besar Masyumi dan K.H. Wahid Hasyim sebagai Ketua Harian Masyumi.
Politik
Di tengah-tengah kiprahnya sebagai seorang ulama, K.H. Mas Mansyur juga aktif dalam organisasi politik. Pada tahun 1939, ia bersama sejumlah tokoh muslim dan nasionalis seperti Abikusno, M. Husni Thamrin, Sanusi Pane dan Sam Ratulangie mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
K.H. Mas Mansyur terpilih sebagai Ketua GAPI, ia dengan gigih berjuang meyakinkan umat Islam untuk berjuang melawan penjajahan. Ia juga menyerukan pandangannya tentang korelasi antara umat Islam, Islam dan kebangsaan.
“Tiap jiwa mempunyai ruh, dan tiap ruh itu bertanah air pada jiwanya, tidak ubahnya ruh saya juga bertanah air kepada jiwa dan badan saya, dan kewajiban bagi saya untuk menjaganya, memeliharanya, mencintainya kepada tanah air yang bertempat kepada jiwa saya. Orang yang mengendalikan cinta tanah air itu termasuk kepada iman adalah tidak benar…, agama Islam tidak bertanah air, tetapi kaum Muslimin bertanah air, agama Islam tidak berkebangsaan, tetapi kaum Musliminnya berbangsa-bangsa menurut tempat dan daerahnya,” ujar K.H. Mas Mansyur seperti dikutip oleh Firdaus Syam dalam Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup Pemikiran dan Tindakan Politik.
Firdaus Syam menambahkan pada saat yang bersamaan K.H. Mas Mansyur berusaha membangkitkan kesadaran dan kebangkitan umat Islam. Sebab ada empat sebab mengapa umat Islam mundur.
Pertama, iman yang tipis. Kedua, tidak memiliki kecerdasan. Ketiga, para pemimpin hanya pandai berbicara dan keempat, syiar agama yang sangat kurang.
K.H. Mas Mansyur juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga persatuan dan cinta tanah air. Jika umat Islam saling bantu, saling tolong, saling memaafkan dan saling menyambung silaturahmi maka persatuan akan terwujud.
“Perintah-perintah agama Islam untuk menyambung persaudaraan, memberi maaf kepada teman yang berbuat kesalahan, menghargai diri, saling mengunjungi, memberi salam, tolong-menolong satu kepada yang lain…, ini semuanya kalau kita selidiki illat atau hikmahnya, tentulah perkara-perkara tersebut adalah perkara yang mendatangkan kepada persatuan,” ujar Firdaus Syam.
Pada era Jepang, K.H. Mas Mansyur bersama dengan Ki Bagus Hadikusumo merupakan salah seorang anggota Chuo Sangi-in. Ia termasuk salah satu ulama yang saat itu bersikap tegas kepada Jepang, terutama terkait dengan kewajiban melakukan ritual seikerei.
“Kita bisa bekerjasama (dengan tentara Jepang), akan tetapi dengan syarat dipakai suatu jalan yang tidak menghina agama. Namun, jika sekiranya agama dihinakan, haruslah disadari bahwa orang-orang Islam yakin untuk membela agamanya, apapun yang terjadi. Dan hal ini dipahami oleh mereka semua”.
Penulis: Kukuh Subekti