ISLAMTODAY ID— Kesultanan Siak sebuah kerajaan Islam yang berdiri di Riau sejak tahun 1723 hingga tahun 1946. Salah satu penguasa maritim terkuat dan diperhitungkan di pesisir Timur Sumatera dan Semenanjung Malaya, terutama setelah melemahnya Kesultanan Johor.
Kesultanan Siak pada awalnya merupakan bagian dari sebuah Kesultanan Johor-Riau. Oleh karena itu hingga tahun 1662, pemerintahan Sultan Johor menempatkan seorang wakilnya di Siak.
Interaksi antara Kesultanan Siak dan Eropa dimulai sejak era Kesultanan Johor. Pada tahun 1641, Sultan Johor mengizinkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk berdagang di Malaka.
Kesempatan tersebut dimulai sejak VOC membantu Kesultanan Johor dalam mengusir Portugis dari Malaka. Seperti diketahui Portugis mulai menguasai Malaka sejak 10 Agustus 1511 M hingga tahun 1641M.
Jatuhnya Malaka ke Portugis jualah yang membuat Sultan Mahmud Syah penerus Kesultanan Malaka mendirikan Kesultanan Johor. Rupanya bantuan VOC kepada Johor merupakan siasat licik VOC untuk merebut Malaka.
Malaka merupakan jalur maritim paling strategis yang diperebutkan oleh berbagai bangsa di dunia termasuk Eropa. Portugis, Belanda serta Inggris masing-masing saling berebut kekuasaan dan pengaruh.
Puncaknya kontrak perjanjian dagang tahun 1689 M, mendorong Siak untuk melepaskan diri dari Kesultanan Johor. Dalam salah satu aturan yang tidak adil itu ialah pasal tentang bebasnya para pedagang VOC untuk berlayar di wilayah Siak.
Secara geografis Kesultanan Siak berada di daerah tiga aliran sungai strategis di perairan Malaka yakni Siak, Kampar dan Kuantan. Sungai Siak bahkan bisa dilalui kapal besar hingga ke tengah Pulau Sumatera, selain itu arus sungainya tenang, jalur darat penghubung sungai-sungai seperti Rokan, Kampar dan Indragiri.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak meliputi Tamiang, Aceh hingga Sambas, Kalimantan Barat. Berbagai hasil alamnya seperti timah, emas lada (Pulau Bintan), kopra terbesar se-Asia Tenggara (Pulau Midai), ikan (Bagan Siapi-api) menjadi daya tarik utama Siak.
Salah satu wilayah Siak yang berhasil dimonopoli VOC adalah Petapahan yang terletak di aliran sungai Siak. Wilayah ini memiliki komoditas dagang unggulan berupa timah dan emas.
Anti VOC
Pendiri Kesultanan Siak, Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah (1723-1746) sejak awal berkuasa sangat anti terhadap VOC, sayangnya ia wafat sebelum sempat melakukan serangan kepada VOC. Serangan Kesultanan Siak baru terjadi pada masa Sultan Siak kedua, Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765).
Sultan Abdul Jalil Muzaffar atau Raja Buwang Asmara berhasil memukul mundur pasukan VOC dalam Perang Guntung pada tahun 1760 M. Keberhasilannya memicu dendam VOC.
Sikap anti VOC terus diwasiatkan kepada puteranya, Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah. Ia berpesan pada puteranya untuk tidak berkompromi terhadap VOC.
“Sebelum meninggal ayahnya berwasiat agar tidak mengadakan kerjasama dengan Belanda (VOC),” tulis Nurhabsyah dari Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara dalam Kerajaan Siak Sri Indrapura Menurut Pendekatan Pendidikan Sejarah.
Antara Inggris dan Belanda
Sepeninggal Sultan Abdul Jalil Muzaffar, Kesultanan Siak terus berupaya mengusir Belanda. Termasuk ketika mereka akhirnya menjalin kerjasama dengan Inggris dalam sebuah kontrak dagang yang ditandatangani pada 31 Agustus 1818.
Perjanjian dengan bangsa Barat dilakukan pada masa Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syarifuddin. Seorang sultan ke delapan Siak yang berkuasa sejak tahun 1810 hingga tahun 1827 melalui wakilnya Panglima Besar Tengku Muhammad.
Kesepakatan Inggris dan Siak membuat Belanda meradang. Belanda akhirnya melalui Gubernurnya di Malaka, Kapten D. Buys berusaha mencegah pengaruh Inggris dengan Perjanjian Siak pada tahun 1822.
Kesultanan Siak pun berada di bawah konflik dua antara Inggris dan Belanda. Kedua negara monarki itu pun lantas membawanya ke dalam Traktat London pada 17 Maret 1824.
Traktat London tersebut berisi tentang pembagian wilayah dan pertukaran wilayah kekuasaan. Traktat ini diantaranya mewajibkan Inggris meninggalkan wilayah Nusantara terutama Jawa dan Sumatera.
Bagi Inggris dan Belanda traktat tahun 1824 bukan sesuatu yang baru. Keduanya pernah terlibat dalam sebuah perjanjian tentang pembagian rute dagang antara East Indies Company (EIC) dari Inggris dan VOC (Belanda) pada 13 Agustus 1814.
Traktat London membawa kerugian bagi Kesultanan Siak, semakin sempitnya wilayah kekuasaannya. Hal inilah yang mendorong terjadinya Traktat Siak pada 1 Februari 1858.
Traktat Siak berdampak fatal bagi kedaulatan Kesultanan Siak. Berdasarkan wilayah kekuasaan, Kesultanan Siak mulai kehilangan beberapa daerah seperti Deli, Asahan, Kampar dan Indragiri yang jatuh ketangan Belanda. Bahkan Belanda mendapatkan izin untuk mendirikan sebuah pangkalan militer di Bengkalis.
Sepanjang kekuasaannya Kesultanan Siak memiliki 12 orang sultan, sultan terakhirnya Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1946). Ia sultan yang sangat fokus pada masalah pendidikan, dan menjadikannya sebagai ujung tombak melawan penjajahan.
Pada masa perang revolusi kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Siak turut serta membantu pemerintah pusat. Untuk mengenang jasanya pemerintah menetapkan namanya sebagai nama bandara di Riau, yakni Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Kini hanyalah sebuah ibukota Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Begitulah jejak kesultanan Islam di Riau abad ke-18, sebuah kesultanan yang diperebutkan oleh Inggris dan Belanda.
Penulis: Kukuh Subekti