ISLAMTODAY ID — Aisyiyah memilikli peran penting dalam pemberantasan buta huruf. Organisasi perempuan Muhammadiyah, yang resmi berdiri di Kauman, Yogyakarta pada 19 Mei 1917 memajukan perempuan lewat pendidikan.
Organisasi khusus muslimah yang diasuh langsung Nyai Ahmad Dahlan, Siti Walidah ini sangat fokus pada masalah pendidikan. Aisyiyah ingin perempuan menjadi sosok yang cerdas sebagaimana figur Ummahatul Mu’minin, Aisyah .
Pada masa itu para perempuan muslimah tumbuh di tengah tradisi pingitan. Tradisi khusus perempuan tersebut dinilai sangat membatasi akses pendidikan bagi perempuan.
Menurut Alwi AS dalam bukunya ‘Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat yang Keliru Tentang Islam’ hingga awal abad 20, perempuan memiliki dua masalah serius. Masalah yang dimaksud adalah tradisi pernikahan dan akses pendidikan.
Tradisi pingitan dalam pernikahan perempuan Jawa banyak terjadi bahkan dialami langsung oleh Kartini. Tradisi tersebut rupanya terus berlanjut hingga era Siti Walidah.
Siti Walidah sejak remaja memiliki hak istimewa untuk belajar maupun mengajar. Ia diizinkan oleh sang ayah, Muhammad Fadil untuk mengajar di langgar, dari majelis kajian yang diasuhnya inilah lahir Aisyiyah.
Sosok Siti Walidah bersama dengan Aisyiyah menjadi oase yang ditunggu-tunggu oleh para muslimah. Aisyiyah berperan penting dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan baru bagi para muslimah di Hindia Belanda.
“Siti Walidah mengadakan pengajian-pengajian yang diperuntukan bagi kaum perempuan, seperti pengajian remaja putri, para orang tua, juragan (majikan/ pengusaha) batik dan tidak terabaikan para buruh batik. Para orang tua yang tidak berkesempatan mengeyam pendidikan di usia muda diajar membaca dan menulis Arab, ditambah tulisan latin. Waktu belajar dipilih setelah Maghrib, menyesuaikan waktu luang mereka sehingga diberi nama Maghribi School. Jumlah pesertanya dikisaran 20 orang, usianya sebaya dengan Siti Walidah,” ungkap Muarif dan Hajar Nur Setyanto dalam Covering Aisyiyah: Dinamika Gerakan Perempuan Islam Berkemajuan hlm. 66-67 tahun 2020.
Aisyiyah mampu mendobrak tradisi pingitan dengan mempermudah akses pendidikan bagi perempuan. Aisyiyah memperluas pendidikan agama untuk perempuan, membangun masjid, membentuk kelompok membaca Al-Qur’an, menerbitkan majalah, hingga jurnal keagamaan.
Dari Sopo Tresno Jadi Aisyiyah
Aisyiyah dalam sejarahnya berawal dari sebuah majelis kajian yang bernama menjalankan Sopo Tresno. Nama Aisyiyah sendiri resmi menggantikan Sopo Tresno pada 19 Mei 1917, dan sejak saat itu mulai aktif berdakwah membersamai Muhammadiyah.
Nasirudin, Sekretaris Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Magelang menjelaskan bahwa sejak awal Ki Haji Ahmad Dahlan kerap mengajak Ketua Aisyiyah pertama, Siti Bariyah untuk berdakwah. Mereka kerap kali berkolaborasi dalam melakukan safari dakwah di berbagai instansi pemerintah Belanda.
“Seorang Siti Bariyah itu mampu menguasai bahasa Belanda dengan fasih dan mulai tahun itu (1917) kemudian sering (diajak) oleh Ki Haji Ahmad Dahlan untuk melakukan perjalanan pengajian dakwah di kantor-kantor pemerintah serta sekolah-sekolah di jaman Belanda,” kata Nasirudin dilansir dari kanal youtube KajianMU MGL (14/3/2021).
Siti Bariyah tidak sendiri, ia bersama temannya Siti Wasilah kerap ikut mendampingi Ki Haji Ahmad Dahlan. Kedua tokoh Aisyiyah itu diberi tugas untuk membacakan ayat Al-Qur’an beserta terjemahnya dalam bahasa Belanda.
“Biasanya Ki Haji Ahmad Dahlan memanggil Siti Wasilah. Siti Wasilah diminta untuk membaca Al-Qur’an dengan lagu yang bagus kemudian diminta Siti Bariyah menerjemahkannya dalam bahasa Belanda,” Nasirudin.
“Kemudian baru diterangkan oleh Ki Haji Ahmad Dahlan tentang makna (ayat Al-Qur’an) itu,” jelasnya.
Dirikan Sekolah Paud
Nasirudin juga menjelaskan sejumlah kiprah Aisyiyah pada dasawarsa pertama Aisyiyah (1917-1927). Aisyiyah berhasil mendirikan sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD).
Pada 24 Agustus 1919 itu, berdirilah sekolah paud pertama di Indonesia milik Aisyiyah yang bernama Froubel Kindergarten Aisyiyah.
“Ini merupakan Paud yang pertama di negara Indonesia yang dikelola oleh pribumi tahun 1919 di Kauman, Yogyakarta,” ungkap Nasirudin.
Dirikan Sekolah Khusus Perempuan
Lalu pada 1920, Aisyiyah mampu mendirikan Siswa Praja Wanita (SPW) yang selanjutnya berubah nama menjadi Nasyiatul Aisyiyah (NA) pada 1931.
Penulis: Kukuh Subekti