ISLAMTODAY ID— Koperasi Sarekat Islam (SI) tak bisa dilepaskan dari eksistensi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi SI. SI bahkan dinilai layak disebut sebagai pelopor organisasi pergerakan nasional Indonesia.
Organisasi pergerakan yang bergerak di bidang sosial ekonomi itu resmi berdiri di Solo pada 16 Oktober 1905. Kemunculannya mendapat banyak sambutan dari umat hingga lahirlah Koperasi Sarekat Islam.
Pendirian Koperasi SI semakin membuat toko-toko muslim makin bermunculan di Solo. Salah satu kawasan pusat pertokoan muslim ialah daerah Keprabon dan Mangkunegaran.
Keanggotaan Koperasi
Keanggotaan Koperasi SI bersifat terbuka. Siapapun mereka dari kalangan individu maupun organisasi bisa menjadi anggota Koperasi SI.
Sejumlah nama pengusaha muslim Solo seperti Haji Mohammad Sadjad misalnya menyumbang 1000 gulden. Sementara Haji Abdul Fatah dan R. Ng. Wiromintargo turut menyumbang modal hingga 5000 gulden.
Salah satunya Perkumpulan Budi Sampoerno yang turut menyumbangkan dananya senilai 2000 gulden. Semangat kemandirian ekonomi para pedagang pribumi itu terus berkembang pada tahun 1913.
“Kegiatan semacam ini terus berlanjut sampai ini pada tahun 1913, dan Koperasi SI sendiri dikelola oleh pegawai kepatihan Surakarta,” kata Adhytiawan Suharto dalam bukunya Sarekat Islam Surakarta 1912-1913.
Keberadaan toko-toko anggota Koperasi SI juga diungkapkan oleh Residen Surakarta, Van Wijk dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal, Idenburg pada 24 Mei 1913. Ia menyebut jika ada delapan toko dengan berbagai macam dagangan mulai dari kebutuhan masyarakat sehari-hari, roti, aneka makanan, beras hingga jual-beli kayu.
Keberadaan toko-toko tersebut menjadi saingan utama para pengusaha Tionghoa. Sebab omzet harian mereka yang cukup tinggi hingga 100 gulden.
“Para pribumi yang sudah menjadi anggota SI kemudian menjadi pelanggan tetap dan mereka hanya jual-beli antar sesama anggota Sarekat Islam,” tutur Adhyt.
Perkembangan toko-toko yang menjadi anggota Koperasi SI itu tak bisa dilepaskan dari campur tangan Haji Samanhudi. Ia adalah orang yang turut membantu dalam memberikan modal untuk pendirian toko-toko.
Sebenarnya upaya untuk mendatangkan bantuan modal oleh pihak SI kepada pemerintah kolonial Belanda telah sering diupayakan. Namun pengajuan permohonan bantuan modal sering ditolak oleh pihak Residen Surakarta.
“Dalam laporan Van Wijk menyatakan bahwa permohonan atas bantuan modal ekonomi dari anggota SI Surakarta sangat banyak,” ungkap Adhyt.
“…permohonan itu tidak memenuhi persyaratan hukum, selain itu Pengurus SI tidak memiliki advokat khusus untuk mengurus masalah modal tersebut,” jelasnya.
Alasan lain yang juga digunakan oleh Belanda untuk tidak bersedia memberikan bantuan modal kepada Koperasi SI ialah lantaran riwayat hukum pengurus SI. Seperti yang terjadi pada Sekretaris SI, R. Djojomargoso dan R. Marthodarsono yang dinilai terlibat dalam kasus pencurian uang dan kasus pemalsuan.
Pada saat yang sama, Belanda juga terkesan membatasi gerak SI. Residen Surakarta melarang SI untuk merekrut anggota baru sebagaimana kebijakan Gubernur Hindia Belanda pada Juni 1913.
Belanda sangat khawatir dampak dari semakin banyak keanggotaan SI akan semakin besar pula kekuatan umat Islam. Salah satunya Belanda khawatir akan munculnya kesadaran untuk tolong-menolong antar sesama umat Islam.
Jalan perjuangan SI tak pernah berhenti, ketika mereka dihambat oleh pihak kolonial mereka tetap bergerak melakukan sejumlah terobosan. Pasca Kongres Pertamanya pada Maret 1913, SI semakin mantap langkahnya.
Para tokoh-tokoh SI bergerak dengan cara mencari simpati dan dukungan dari berbagai kalangan umat Islam, terutama di daerah. Hal inilah yang dilakukan oleh R.Djojorahardjo selama di Trucuk dan Pedan.
Terbentuknya SI di Trucuk dan Pedan membuat para anggota SI yang mayoritas dari para kuli perkebunan menjadi makin kuat solidaritas persaudaraannya. Bahkan mereka aktif dalam kegiatan sedekah untuk keperluan dakwah SI.
Pergerakan SI pada periode Mei 1913 memang cukup masif. SI berhasil merangkul para priyayi lokal untuk terlibat aktif membangun jaringan ekonomi di kawasan Solo-Raya baik dari Klaten, Boyolali, Sukoharjo hingga Sragen.
Perjuangan para tokoh-tokoh SI dalam membangun solidaritas umat Islam di Solo sangat berhasil, salah satunya di Sukoharjo. Hingga tahun 1914 sebanyak 500 priyayi di Sukoharjo masuk dalam keanggotaan SI.
“Pada 1914, SI sudah menjadi organisasi besar, sehingga larangan dari residen tidak sekuat pada 1912, pada masa awal kemunculan SI,” ujar Adhyt.
Nyatanya pendirian koperasi dalam jajaran SI tidak hanya terjadi di Solo. Kemandirian ekonomi juga ditunjukkan oleh SI Cabang Bandung.
Surat Kabar De Expres edisi 3 Mei 1913 misalnya mengungkapkan jika SI Bandung sepakat untuk mendirikan dua koperasi. Koperasi tersebut masing-masing diberi nama Djajakamoeljan dan Roekoen Wargi.
Penulis: Kukuh Subekti