(IslamToday ID) – Mantan pejabat Israel mulai menyalahlan kebijakan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu atas kemerosotan politik dan diplomatik negara tersebut.
“Saya pikir kebijakan penanganan konflik telah runtuh di depan mata kita,” kata mantan ketua Dewan Keamanan Nasional Israel, Eyal Hulata yang dikutip dari Sputnik, Selasa (18/7/2024).
Hulata adalah salah satu dari sejumlah mantan tokoh pemerintah Israel terkemuka yang berbicara kepada media online tentang kelemahan kepemimpinan Netanyahu dan bagaimana mereka berkontribusi terhadap kelemahan keamanan besar-besaran Israel selama serangan Hamas pada 7 Oktober yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mantan pegawai negeri lainnya, Uzi Arad, menuduh perhitungan politik pribadi Netanyahu memberi informasi pada strategi yang lebih diarahkan untuk memastikan keselamatan dirinya sendiri daripada mencapai keamanan.
“Semakin banyak ia memiliki mitra koalisi yang pro-pemukiman, dan menentang negara Palestina, semakin ia harus mempertimbangkan hal tersebut secara politis dan bahkan secara pribadi,” kata Uzi Arad, seorang veteran dinas keamanan negara Israel, merujuk pada anggota-anggota garis keras dari kabinet pemerintahan perdana menteri.
Kritik tajam juga datang dari mantan Perdana Menteri Ehud Olmert mengenai serangan tanggal 7 Oktober.
“Kegagalan yang paling signifikan adalah arogansi dan ketidakmampuan menerima gagasan bahwa negara-negara Arab cukup pintar untuk melakukan apa yang bisa kita lakukan dalam kondisi serupa. Kita pikir kita ini negara start-up, kita canggih, kita orang pintar. (Ternyata) Orang-orang Arab, kelompok primitif ini, ternyata pintar,” kata dia.
“Itu semua omong kosong,” kata Olmert kepada The Daily Beast ketika berbicara tentang kampanye Israel yang sedang berlangsung di Gaza.
“Pemerintah Israel mengatakan secara terbuka bahwa kami akan memindahkan mereka ke Mesir. Mereka menginginkan perang yang komprehensif namun perang yang komprehensif dilakukan demi satu hal, yaitu demi kekacauan yang memungkinkan mereka menahan kita di Tepi Barat, mengusir warga Palestina di Tepi Barat, dan menciptakan kondisi politik yang memungkinkan terjadinya aneksasi,” sambungnya.
Sebagai informasi, Benjamin Netanyahu adalah perdana menteri terlama dalam 76 tahun sejarah Israel dan negara ini telah banyak berubah di bawah kepemimpinannya.
Masa kekuasaannya selama 16 tahun menjamin hegemoni budaya Zionisme Revisionis Partai Likud, sebuah doktrin yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk mempertahankan keberlangsungan eksistensi negara Israel adalah melalui upaya maksimalisme teritorial.
Para pendiri gerakan ini menganjurkan pembentukan negara Israel tidak hanya dari sungai ke laut, tetapi juga melampaui sungai hingga ke wilayah Yordania modern.
Saat ini keturunan politik gerakan ini mendedikasikan diri mereka untuk mengamankan kendali penuh atas Israel Raya, sebuah wilayah yang mencakup wilayah Palestina yang diakui secara internasional, yaitu Gaza dan Tepi Barat.
Cita-cita tersebut menyiratkan kebijakan mengelola konflik dengan orang-orang Palestina, dengan asumsi bahwa Israel dapat menjaga perdamaian dan pencegahan selamanya bahkan ketika orang-orang Palestina setiap hari menjadi sasaran penghinaan akibat kekerasan yang dilakukan pemukim, pos pemeriksaan militer dan penodaan tempat -tempat suci. [ran]