(IslamToday ID) – Kepala militer Filipina pada hari Kamis menuntut agar China membayar ganti rugi sebesar 60 juta peso (US$1 juta) akibat insiden konfrontasi kekerasan antara penjaga pantai China dan pasukan Filipina di Laut China Selatan (LCS) bulan lalu.
Personel Penjaga Pantai China, bersenjatakan tombak dan parang, merusak perahu Filipina dan menyita senjata api dalam insiden 17 Juni dekat Second Thomas Shoal, yang dikenal secara lokal sebagai Ayungin dan disebut Ren’ai Jiao oleh Beijing.
Seorang pelaut Filipina kehilangan jari dalam bentrokan tersebut, yang merupakan insiden ketiga tahun ini di mana personel Filipina terluka saat menjalankan misi rotasi dan memasok kembali pasukan yang ditempatkan di Second Thomas Shoal.
“Saya menuntut pengembalian tujuh senjata api yang diambil oleh penjaga pantai China,” kata Jenderal Romeo Brawner dalam konferensi pers.
“Mereka merusak peralatan kami dan setelah kami estimasi, kerugian mencapai 60 juta peso.” Ganti rugi ini tidak termasuk biaya operasi untuk prajurit Filipina yang kehilangan jarinya, tambah Brawner, yang menguraikan tuntutannya dalam surat kepada Beijing.
Komentar Brawner disampaikan setelah konferensi komando antara pejabat militer dan Presiden Ferdinand Marcos Jr. di mana tantangan dan ancaman keamanan yang dihadapi negara Asia Tenggara itu dibahas.
Marcos menyerukan penurunan ketegangan dengan China di Laut China Selatan, kata kepala militer Filipina itu. Namun, misi rotasi dan pemasokan ulang ke BRP Sierra Madre akan terus berlanjut, tambah Brawner.
Pada hari Selasa, Manila dan Beijing sepakat untuk mengurangi permusuhan “tanpa mengurangi posisi masing-masing” dalam pertemuan bilateral reguler. China mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh Laut China Selatan, yang dilalui perdagangan bernilai triliunan dolar setiap tahun, sehingga menimbulkan perselisihan dengan Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Taiwan.
Pada tahun 2016, sebuah pengadilan internasional membantah dasar hukum untuk hampir semua klaim maritim dan teritorial ekspansif China di perairan tersebut.
Pengadilan menyatakan bahwa klaim hak historis Beijing atas perairan tersebut tidak konsisten dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Beijing tidak pernah mengakui arbitrase tahun 2016 tersebut atau hasilnya.[sya]