Serangan ini terjadi sehari setelah utusan pemerintahan Biden, Amos Hochstein, bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memperingatkan agar tidak membuka front yang lebih luas dengan Hezbollah di perbatasan utara Israel. Hingga saat ini, baku tembak antara kedua pihak terbatas di wilayah perbatasan, meskipun Israel pernah membunuh seorang pemimpin senior Hamas di wilayah lebih dalam pada awal tahun ini.
Analis menyalahkan pemerintahan Biden yang dianggap gagal mengendalikan Israel selama 11 bulan terakhir dalam perangnya di Gaza. Mantan pejabat pertahanan era Reagan, Lawrence Korb, mengatakan bahwa Israel memiliki banyak senjata yang dapat digunakan, bahkan hingga menjangkau Beirut, dan memperingatkan dampak serius jika eskalasi terjadi.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menegaskan bahwa AS tidak terlibat dan tidak mengetahui serangan tersebut sebelumnya, namun mereka sedang mengumpulkan informasi. Meskipun ada upaya diplomatik, AS hingga kini belum menggunakan pengaruhnya terhadap Israel untuk menghentikan perang yang telah berlangsung hampir setahun di Gaza.
Hezbollah mengonfirmasi bahwa pihaknya sedang melakukan investigasi keamanan dan ilmiah terkait penyebab ledakan ini. Serangan tersebut telah menyebabkan sedikitnya sembilan orang tewas, termasuk seorang anak, dan lebih dari 2.700 orang terluka. Salah satu korban adalah putra seorang anggota parlemen Hezbollah.
Kekacauan melanda rumah sakit yang sudah terbebani di tengah krisis politik dan ekonomi Lebanon. Gambar korban yang kehilangan jari, mata, hingga anggota tubuh lainnya mengingatkan pada dampak serangan udara Israel di Gaza.
Utusan khusus PBB untuk Lebanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, menyatakan kekhawatirannya atas eskalasi ini di tengah situasi yang sudah sangat volatile.[sya]