(IslamToday ID) – Maladewa, yang terkenal dengan resor menakjubkan dan pantai yang menenangkan, kini tengah berjuang menghadapi krisis utang yang kian memburuk. Negara kepulauan ini berupaya menjaga keseimbangan antara dua kreditur terbesarnya: India dan China. Saat krisis utang yang mengancam default semakin dekat, kepemimpinan Presiden Mohamed Muizzu diuji dalam mengarahkan negara ini melalui situasi ekonomi dan geopolitik yang tidak menentu.
Per Agustus 2024, cadangan devisa Maladewa tercatat sebesar $437 juta, cukup untuk menutupi kebutuhan impor sekitar satu setengah bulan. Maladewa diproyeksikan harus mengeluarkan biaya pelayanan utang sebesar $600-$700 juta pada 2025 dan lebih dari $1 miliar pada 2026. Utang Maladewa kepada China mencapai sekitar $1,3 miliar, sementara kepada India sekitar $130 juta.
Dalam upaya untuk memperoleh bantuan keuangan, Presiden Maladewa bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi di New Delhi pada 7 Oktober, di tengah kekhawatiran akan gagal bayar obligasi senilai $25 juta. India menyetujui perjanjian swap mata uang senilai $400 juta, memberikan bantuan likuiditas jangka pendek yang sangat dibutuhkan oleh negara yang berpenduduk setengah juta jiwa tersebut.
Utang Maladewa sebagian besar berkaitan dengan obligasi Sukuk, instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dan berbeda dengan obligasi konvensional. Sukuk tidak menawarkan bunga, tetapi memberikan kepemilikan atas aset fisik dan pendapatan yang dihasilkan dari aset tersebut. Jika Maladewa gagal bayar atas utang Sukuk ini, maka ini akan menjadi default pertama untuk Sukuk oleh suatu negara.
Tanpa adanya bantuan keuangan dari India, Maladewa bisa menghadapi konsekuensi serius seperti hilangnya akses ke pasar modal internasional, terguncangnya kepercayaan investor, dan keterpurukan ekonomi yang lebih dalam. Meskipun India telah memberikan bantuan, masalah ekonomi Maladewa yang lebih besar masih belum terselesaikan, dengan pembayaran utang besar yang akan datang dalam beberapa tahun mendatang.
Krisis ekonomi Maladewa ini juga tidak lepas dari persaingan geopolitik antara India dan China. Dalam dekade terakhir, Maladewa meminjam dana dari kedua negara ini, yang masing-masing memiliki tujuan berbeda dalam memberikan bantuan. China banyak mendanai proyek infrastruktur yang terkait dengan Belt and Road Initiative, sementara India melihat Maladewa sebagai bagian penting dari strategi keamanan regionalnya.
Presiden Muizzu naik ke tampuk kekuasaan pada 2023 melalui kampanye “India Out” yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada India dan mendekatkan Maladewa dengan China. Namun, setelah memenangkan pemilu, tekanan ekonomi membuat pemerintahan Muizzu mengubah pendekatannya terhadap India, mengakui bahwa kelangsungan ekonomi Maladewa bergantung pada dukungan dari India dan China.
Masalah terbesar yang dihadapi Maladewa adalah beban utang yang tidak berkelanjutan dan ketergantungan yang tinggi pada sektor pariwisata. Pandemi Covid-19 menunjukkan kerentanan ini, dan kenaikan harga komoditas global semakin menguras cadangan devisa Maladewa, memperburuk kemampuan negara tersebut untuk membayar utangnya.
Ke depan, Maladewa perlu melakukan reformasi struktural untuk mengurangi ketergantungan pada pariwisata dan meningkatkan cadangan devisa. Pemerintah telah mengusulkan reformasi pajak, pemotongan anggaran, dan restrukturisasi BUMN. Namun, reformasi ini berpotensi menghadapi penolakan publik, mengingat langkah-langkah penghematan sering memicu protes di negara tersebut.
Kemungkinan Maladewa harus beralih ke IMF untuk bantuan keuangan tetap menjadi perdebatan, meskipun pemerintah saat ini enggan melakukannya. Banyak pakar percaya bahwa bantuan IMF mungkin tak terhindarkan jika krisis utang semakin parah, meskipun hal ini berisiko menambah ketidakstabilan sosial.
Maladewa akan tetap bergantung pada dukungan finansial dari India dan China, namun ketergantungan ini bisa berisiko bagi kedaulatan negara tersebut. Bantuan dari kedua negara ini cenderung diiringi dengan pengaruh politik yang lebih besar, yang dapat mengancam keamanan dan kedaulatan Maladewa. Untuk menghadapi tantangan ini, Presiden Muizzu perlu menjadi diplomat ulung sekaligus perencana ekonomi yang cermat.
Krisis utang yang dihadapi Maladewa ini menjadi pelajaran bagi negara kecil lain yang terlalu bergantung pada pinjaman asing dan satu sektor ekonomi. Tanpa rencana jangka panjang untuk diversifikasi ekonomi dan restrukturisasi utang, negara seperti Maladewa akan tetap rentan terhadap ketidakstabilan finansial dan guncangan eksternal. Presiden Muizzu perlu mengambil langkah tegas demi masa depan finansial Maladewa dan mencegah negara ini terseret lebih jauh dalam persaingan geopolitik antara India dan China.[sya]