(IslamToday ID) – Saya tiba di kota Dearborn, Michigan, sekitar sebulan sebelum pemilu presiden AS. Begitu memasuki kota ini, sulit untuk tidak merasakan nuansa kota yang menjadi pusat kehidupan Muslim, terutama bagi komunitas Arab.
Kafe-kafe, masjid, dan papan petunjuk berbahasa Arab memberikan kesan bahwa Dearborn bukan hanya tempat tinggal imigran, tetapi juga tempat di mana budaya Arab berkembang. Ini adalah komunitas yang selama ini cenderung mendukung Partai Demokrat, namun kali ini situasinya berbeda.
Saat saya dan juru kamera saya, Kadir Furkan, berjalan di sepanjang jalan, tampak jelas bahwa kekecewaan terhadap Demokrat, terutama terkait dukungan mereka terhadap perang Israel di Gaza, sangat kuat.
Hampir semua orang yang kami ajak bicara menyatakan kekecewaan yang sama. Dulu, komunitas ini memberikan dukungan besar bagi Demokrat, tetapi sekarang kami tidak bisa menemukan satu pun orang yang berencana untuk memilih Wakil Presiden Kamala Harris atau kandidat dari Demokrat.
Perubahan Dukungan di Pemilu
Meskipun kami berusaha mencari seseorang yang masih mendukung Demokrat, hasilnya tetap nihil. Mungkin ada segelintir orang yang masih memilih Harris, tetapi kenyataan bahwa kami tidak menemukan satupun di komunitas yang secara historis mendukung Demokrat menggambarkan perasaan masyarakat di sini.
Ini bukan sekadar pengandaian—komunitas Muslim telah berkembang di bawah Partai Demokrat dalam banyak aspek. Selama bertahun-tahun, Demokrat lebih memperhatikan isu-isu seperti imigrasi dan hak sipil—area yang membantu membangun loyalitas Muslim, terutama setelah peristiwa 9/11.
Banyak di komunitas Muslim yang merasa ditinggalkan oleh Partai Republik, yang dulu menjadi rumah politik bagi pemilih konservatif. Rasa pengkhianatan itu masih belum hilang, dan Demokrat banyak diuntungkan oleh pergeseran ini.
Namun kini, dengan AS yang terus mendukung perang di Gaza meskipun korban sipil terus bertambah di wilayah yang terkepung tersebut, muncul perasaan bahwa Demokrat juga tidak peduli dengan kebutuhan komunitas Muslim.
Beralih ke Voting Hukuman
Pemilu kali ini menciptakan dinamika baru di kalangan komunitas Muslim: voting hukuman. Setelah bertahun-tahun mendukung Demokrat, banyak Muslim kini mempertimbangkan untuk tidak memilih pada Hari Pemilu atau bahkan, lebih mengejutkan, memilih Partai Republik—bukan karena mereka mendukung GOP, tetapi untuk menyampaikan pesan.
Bagi banyak orang, ini bukan tentang mendukung nilai-nilai Partai Republik, tetapi lebih sebagai cara untuk menghukum Partai Demokrat atas kegagalan mereka mendengarkan kekhawatiran mereka, terutama terkait Gaza.
Perubahan ini mirip dengan pergeseran politik yang terjadi setelah 9/11 ketika banyak Muslim merasa Partai Republik melancarkan “perang terhadap Islam.” Saat itu, banyak Muslim yang beralih ke Demokrat karena merasa dikhianati oleh kebijakan Partai Republik. Kini, dengan isu Gaza yang menjadi pusat perhatian, Demokrat berisiko kehilangan suara Muslim karena dianggap gagal membela komunitas pada isu moral yang mendasar.
Namun, penting untuk dicatat bahwa ini bukan tentang tiba-tiba merangkul GOP. Komunitas Muslim tidak serta merta sejalan dengan Partai Republik dalam isu domestik. Sebaliknya, mereka menggunakan suara mereka—atau keputusan untuk tidak memilih—sebagai bentuk protes.
Imam Muhammad Mardini, presiden American Muslim Center, menggambarkan konflik moral ini dengan baik. “Kami adalah warga Amerika, dan kami peduli dengan negara ini,” katanya. “Tapi bagaimana kami bisa memilih pemerintahan yang menggunakan uang pajak kami untuk membiayai pembunuhan anak-anak tak berdosa? Biden telah mengecewakan kami. Harris juga demikian.”
Demokrat Kehilangan Dukungan di Dearborn
Berjalan di pasar yang sibuk, Anda bisa melihat kelelahan di wajah-wajah orang. Ini bukan hanya tentang Gaza. Inflasi semakin berat, dan ada perasaan bahwa pemerintahan Biden tidak cukup membantu mereka.
Saya bertemu dengan Mike Ayoub, seorang broker real estate, di luar sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Kekecewaannya terhadap Demokrat serupa dengan apa yang kami dengar sepanjang hari.
“Apa yang kami dapatkan dari mendukung Demokrat?” katanya. “Mereka mengirim miliaran ke Israel sementara bisnis saya kesulitan. Harga-harga melambung, upah tidak naik, dan kami seharusnya terus mendukung mereka? Mereka sudah melupakan kami.”
Sentimen ini terus muncul: Demokrat telah melupakan kami. Warga di sini berjuang dengan inflasi, biaya hidup, dan merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti. Dan itulah yang membuat pemilu ini begitu berbeda.
Ada perasaan bahwa tidak memilih pada Hari Pemilu mungkin menjadi pilihan terbaik. Abbas Shehab, seorang pekerja media lokal, mengatakan bahwa ia tidak akan memilih tahun ini. “Baik Harris maupun Trump tidak layak mendapat suara saya,” katanya. “Saya tidak akan memilih keduanya. Tidak ada gunanya.”
Apatisme pemilih seperti ini bisa menjadi bencana bagi Demokrat. Hampir 80 persen pemilih Muslim mendukung Biden pada 2020, dan dukungan mereka sangat penting di negara bagian swing seperti Michigan, Pennsylvania, dan Georgia.
Jika bahkan sebagian kecil dari mereka memutuskan untuk tidak memilih, itu bisa meningkatkan peluang kemenangan Donald Trump secara signifikan. Situasi semakin rumit bagi Demokrat karena wali kota Muslim Hamtramck, Amer Ghalib, sudah memberikan dukungannya kepada Trump.
Hamtramck, yang tidak jauh dari Dearborn, juga memiliki populasi Muslim yang besar, dan dukungan Ghalib bisa memberikan dampak signifikan di seluruh negara bagian Michigan.
Menjelang Hari Pemilu, jelas bahwa Demokrat menghadapi tantangan nyata di Dearborn. Kota ini, yang secara historis menjadi sumber suara andalan bagi Partai Demokrat, kini berada di titik krusial.
Warga merasa dikhianati, dan banyak yang siap untuk menarik diri sepenuhnya. Di negara bagian seperti Michigan, di mana pemilu sering diputuskan hanya dengan selisih ribuan suara, perubahan ini bisa berdampak serius.[sya]