(IslamToday ID) – Burundi, sebuah negara di Afrika Timur dengan populasi lebih dari 12 juta jiwa, baru saja dinobatkan sebagai negara termiskin di dunia dalam laporan terbaru Bank Dunia. Selama lebih dari dua dekade, negara ini mengalami berbagai masalah ekonomi, termasuk produk domestik bruto (PDB) terendah secara global serta ketidakmampuan membayar utang, bahkan dengan pinjaman berbunga rendah dari lembaga seperti International Development Fund (IDF).
Laporan tersebut juga mengidentifikasi 26 negara termiskin di dunia, yang sebagian besar berada di Afrika, dengan beberapa pengecualian seperti Afghanistan, Irak, Suriah, dan Korea Utara dari Timur Tengah dan Asia. Kondisi negara-negara ini sangat buruk hingga disebutkan akan memerlukan lebih dari satu abad untuk mengentaskan kemiskinan. Secara keseluruhan, sekitar 500 juta orang tengah bergelut dengan kemiskinan ekstrem.
Para ahli yang diwawancarai oleh TRT World menyoroti stagnasi ekonomi ini disebabkan oleh kurangnya institusi yang kuat serta infrastruktur publik dan ekonomi yang memadai, yang dianggap sebagai hambatan utama bagi pertumbuhan dan pembangunan.
Apa yang menjadi penyebab stagnasi ini?
Para pakar menunjuk kolonialisme sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan negara-negara tersebut masih berjuang memperbaiki infrastruktur yang rusak, sehingga menimbulkan masa depan ekonomi yang suram. “Kekaisaran mengekstraksi kekayaan besar, meskipun beberapa di antaranya tidak menggunakannya secara produktif, seperti Spanyol, sementara koloni pemukim hanya menguasai lahan yang kemudian menjadi sangat berharga,” ujar William Booth, seorang profesor Sejarah Amerika Latin di University College of London.
Booth juga menambahkan bahwa kehadiran kekuatan kolonial di Afrika dan Amerika Latin memastikan bahwa masyarakat setempat tidak berkembang di berbagai bidang, baik itu agama, politik, maupun kehidupan sipil dasar.
Nobel laureates Daron Acemoglu dan James A. Robinson juga menggarisbawahi dimensi baru tentang pengaruh kolonialisme terhadap kemiskinan saat ini dalam buku terbaru mereka, Why Nations Fail. Mereka menemukan korelasi antara kehilangan besar modal manusia akibat pembantaian massal yang dilakukan oleh kekuatan kolonial dengan lambannya pertumbuhan ekonomi yang terus memengaruhi PDB negara-negara ini hingga saat ini.
Utang pemerintah dari 26 negara termiskin yang diidentifikasi oleh Bank Dunia kini mencapai 72 persen dari PDB, angka tertinggi dalam 18 tahun terakhir.
Selain itu, faktor eksternal seperti pandemi Covid-19 serta konflik berkepanjangan juga memperburuk keadaan. Banyak dari negara-negara ini bergantung pada hibah atau pinjaman berbunga rendah dari lembaga seperti International Development Association. Perang di Ukraina juga telah mengalihkan sebagian besar bantuan internasional, menjadikan proses bailout finansial semakin sulit bagi negara-negara ini.
Mengapa kemiskinan sulit diatasi di negara-negara tersebut?
Sebagian besar dari negara-negara ini kekurangan sumber daya alam yang cukup dan ekonominya sangat bergantung pada praktik pertanian yang usang, membuat mereka rentan terhadap perubahan iklim. Tingginya tingkat penyakit dan malnutrisi juga berdampak pada produktivitas tenaga kerja. Korupsi juga berperan signifikan, di mana para pejabat seringkali menyimpan kekayaan daripada menginvestasikannya dalam infrastruktur, layanan kesehatan, dan layanan penting lainnya.
“Poverty in Africa is a multi-dimensional problem, influenced by various factors including climate risks, conflict prevalence, colonial legacies, and poor health and education systems,” ujar Christopher Vandome, Research Fellow di Chatham House. “Pada intinya adalah evolusi dan efektivitas institusi politik dan ekonomi yang menentukan aturan main dalam aktivitas ekonomi dan politik.”
Ovigwe Eguegu, Penasihat Kebijakan di Development Reimagined, memiliki pandangan serupa, mengatakan bahwa langkah-langkah jangka pendek seperti bantuan keuangan seringkali tidak menyentuh akar masalah struktural.
Menurut Eguegu, “Yang dibutuhkan oleh negara-negara ini untuk berkembang secara ekonomi adalah akumulasi modal, dalam bentuk perdagangan, dan investasi ke dalam pembangunan kapasitas di berbagai sektor industri.”
Vandome menambahkan bahwa negara-negara donor yang berkontribusi pada organisasi bantuan internasional semakin menyadari dampak dari intervensi mereka. “Mereka menyadari bahwa bantuan bisa merugikan sekaligus produktif. Sebagian besar dana bantuan justru berakhir pada konsultan internasional yang mengawasi fungsi administratif daripada langsung diterapkan secara produktif di lapangan,” tuturnya.[sya]