(IslamToday ID) – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengungkapkan dalam wawancara dengan Al-Araby al-Jadeed pada 3 Desember bahwa Teheran akan mempertimbangkan pengiriman pasukan ke Suriah untuk melawan kelompok ekstremis yang menyerang Damaskus jika pemerintah Suriah memintanya.
“Saya berencana mengunjungi Rusia untuk membahas situasi di Suriah,” kata Araghchi, menambahkan bahwa jika “pemerintah Suriah meminta Iran untuk mengirim pasukan, kami akan mempertimbangkannya.”
Araghchi menjelaskan bahwa Iran telah menyiapkan langkah-langkah untuk menstabilkan situasi di Suriah dan akan mengusulkan solusi permanen. Ia juga menekankan pentingnya konsultasi dan dialog dengan Turki terkait perbedaan pandangan kedua negara.
“Ekspansi kelompok teroris di Suriah berpotensi merugikan negara-negara tetangga seperti Irak, Yordania, dan Turki, lebih dari pada Iran,” ungkapnya.
Ia juga mendukung syarat pemerintah Suriah agar Presiden Bashar al-Assad dan Recep Tayyip Erdogan dapat bertemu dengan syarat penarikan pasukan Turki dari wilayah Suriah, menyebutnya sebagai langkah yang “logis.”
Sebelumnya, Araghchi bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad di Damaskus pada Minggu, mempertegas dukungan penuh Iran terhadap negara tersebut.
Iran telah terlibat dalam perang melawan kelompok ekstremis yang didukung AS sejak 2013, setelah Lebanon’s Hezbollah turut campur tangan. Dukungan Iran dan Hezbollah berhasil membantu Damaskus mengubah keadaan melawan kelompok ekstremis yang didukung Washington, Doha, dan Ankara, yang sempat menguasai wilayah besar di Suriah.
Pada 2015, intervensi Angkatan Udara Rusia semakin memperkuat posisi Suriah melawan ISIS dan Jabhat al-Nusra – kini dikenal sebagai Hayat Tahrir al-Sham (HTS) – serta kelompok ekstremis lainnya seperti Jaish al-Islam yang kini menjadi bagian dari Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki dan terlibat dalam serangan terhadap tentara Suriah di wilayah pedesaan Idlib, Aleppo, dan Hama.
Saat ini, banyak komandan dan penasihat Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) berada di Suriah, bersama pasukan militer Suriah dan Hezbollah, yang menjadi target serangan udara ilegal Israel secara rutin.
Serangan HTS terhadap Damaskus dimulai pada 27 November, bersamaan dengan pemberlakuan gencatan senjata antara Israel dan Lebanon.
Tel Aviv dituduh terlibat dalam kampanye kelompok ekstremis ini, mengingat sejarah kolaborasi Israel dengan oposisi bersenjata di Suriah, terutama Jabhat al-Nusra (kini HTS).
Ada juga laporan tentang dukungan Turki dan Ukraina terhadap serangan yang sedang berlangsung oleh kelompok militan ekstremis.
Saat ini, serangan udara besar-besaran Rusia–Suriah menghantam posisi dan jalur pasokan HTS serta kelompok sekutu mereka di wilayah pedesaan Idlib, Aleppo, dan Hama, sementara bala bantuan militer Suriah terus tiba di garis depan.[sya]