(IslamToday ID) – Kesepakatan gencatan senjata yang diterima Israel memicu kontroversi karena mencakup tiga tahap dan menghentikan perang genosida Israel di Gaza setelah negosiasi berat yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, pemerintahan Biden, dan utusan Timur Tengah dari Trump. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kabinetnya yang ekstremis kerap menghalangi upaya mediasi, didukung oleh sikap lunak pemerintahan Biden selama 15 bulan terakhir.
Biden dinilai tidak memberikan tekanan yang cukup pada Netanyahu untuk menghentikan perang, yang memperburuk situasi dan mempersulit mediasi. Meski demikian, Qatar terus berupaya keras meski menghadapi kritik dan tekanan. Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman menegaskan, “Para pengkritik Qatar tidak melakukan apa pun untuk menghentikan perang terhadap rakyat Gaza.”
Netanyahu akhirnya menyerah pada syarat-syarat perjanjian meskipun Menteri Keamanan Dalam Negeri, Ben-Gvir, mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan. Namun, Netanyahu tetap gagal mencapai tiga tujuan yang ia umumkan pada awal perang, yaitu menghancurkan Hamas, membebaskan para sandera, dan menetralkan Gaza sebagai ancaman keamanan Israel di masa depan. Tujuan tersembunyi yang sebenarnya, seperti pembersihan etnis dan pembangunan permukiman baru, juga tidak tercapai.
Selama perang, pasukan pendudukan Israel terus menyerang warga sipil, sementara perlawanan di Gaza tetap melawan hingga detik terakhir sebelum gencatan senjata berlaku. Faktor-faktor seperti tekanan Trump dan ancaman utusannya memaksa Netanyahu menerima kesepakatan, yang mencakup pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai sehari sebelum Trump dilantik sebagai presiden.
Menariknya, Netanyahu akhirnya menerima kesepakatan yang sama seperti yang diajukan Presiden Biden pada Mei lalu, yang sebelumnya selalu ia tolak. Hal ini menguatkan pandangan bahwa Netanyahu dan pemerintahannya adalah pihak yang menghalangi perjanjian selama delapan bulan, yang seharusnya bisa menyelamatkan lebih dari 10.000 nyawa warga Palestina.
Netanyahu juga menolak melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan 2735 untuk gencatan senjata yang diajukan AS dan disetujui oleh 14 negara, meskipun AS menggunakan veto empat kali untuk menolak gencatan senjata tersebut. Hingga saat gencatan senjata mulai berlaku, pasukan Israel terus membombardir Gaza dan menghancurkan bangunan.
Tantangan ke depan adalah apakah Israel akan mematuhi syarat-syarat perjanjian tersebut, terutama karena beberapa menteri dari Partai Likud menyebut perjanjian ini memungkinkan Israel kembali ke perang. Namun, pihak mediasi, yaitu Qatar, Mesir, dan AS, menjadi penjamin pelaksanaan penuh perjanjian ini.
Perdebatan hangat terjadi di media sosial dan saluran berita Arab, antara yang menganggap ini bukan kemenangan Hamas mengingat tingginya harga yang harus dibayar, dan yang meyakini bahwa perlawanan rakyat Gaza telah memberikan kerugian besar bagi Israel, baik secara militer maupun moral. Perlawanan ini juga membuktikan bahwa dalam perang asimetris, kekuatan lemah yang mampu mencegah kemenangan kekuatan besar adalah pemenangnya.[sya]