(IslamToday ID) – Para ekonom memperingatkan bahwa tahap selanjutnya dari perang dagang Donald Trump akan membuka medan pertempuran baru di seluruh Asia. India dan Thailand termasuk dalam negara yang paling rentan terhadap risiko dari ancaman Presiden AS mengenakan tarif balasan pada mitra dagangnya.
Menurut berbagai perkiraan para analis yang mempertimbangkan skenario pengenaan tarif yang serupa, kedua negara Asia tersebut menonjol karena tarif yang mereka kenakan pada AS, secara rata-rata jauh di atas tarif yang dibebankan pada mereka oleh AS.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa Trump belum mengklarifikasi kebijakan potensial tersebut, termasuk negara mana yang akan menjadi target dan atas dasar apa.
“Negara-negara berkembang di Asia memasang tarif relatif lebih tinggi untuk ekspor AS, dan dengan demikian berisiko terkena tarif balasan yang lebih tinggi,” ujar para analis Nomura Holdings Inc, yang dipimpin Sonal Varma dalam catatan untuk para klien. “Kami memperkirakan negara-negara Asia akan meningkatkan negosiasi mereka dengan Trump.”
Trump pada Jumat (7/2/2025) mengumumkan rencana tarif balasan untuk memastikan AS “diperlakukan secara adil dengan negara-negara lain,” menunjukkan pendekatan ini bisa menggantikan ancaman tarif universal sebelumnya. Ia mengatakan rincian tambahan akan diumumkan pada Selasa atau Rabu, dan tarif akan berlaku langsung atau tidak lama setelahnya.
Pada masa jabatan pertamanya di Gedung Putih, Trump dan sekutunya mendorong langkah perdagangan timbal balik dengan mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Timbal Balik AS. Aturan ini akan memberi Trump kekuasaan yang luas untuk memberlakukan tarif baris demi baris pada semua mitra dagang.
Selama kampanyenya pada Pilpres tahun lalu, Trump juga berjanji akan memasang pungutan yang setara, mengatakan bahwa “jika mereka mengenakan biaya pada AS, kami akan membalas MEREKA — mata dibayar dengan mata, tarif dibayar dengan tarif, dengan jumlah yang sama persis.”
Ancaman baru ini akan makin menekan para pejabat di seluruh Asia untuk menenangkan Trump dan membuat ekonomi mereka yang bergantung pada ekspor lebih kebal terhadap kemungkinan eskalasi ketegangan perdagangan.
Importir utama gas alam cair India sudah berunding untuk membeli lebih banyak bahan bakar dari AS menjelang pertemuan antara kedua pemimpin negara pekan ini.
Thailand sedang mempertimbangkan untuk membeli lebih banyak produk AS, menambah peningkatan impor etana dan barang-barang pertanian yang direncanakan untuk tahun ini.
Maeva Cousin dari Bloomberg Economics dan George Saravelos dari Deutsche Bank menemukan bahwa perbedaan tarif India yang lebar dengan AS membuat India berisiko tinggi menghadapi pembalasan.
Menurut analisis Cousin, tarif rata-rata yang dikenakan India pada impor AS lebih dari 10 poin persentase, lebih tinggi daripada pungutan AS pada barang-barang India.
Dalam laporannya, Saravelos mengatakan, interpretasi yang lebih luas dari “timbal balik,” yang bisa mencakup pertimbangan seperti surplus perdagangan suatu negara dengan AS atau pajaknya terhadap perusahaan-perusahaan AS, akan mendapat konsekuensi yang lebih besar bagi semua negara.
Analis di Morgan Stanley yang dipimpin Chetan Ahya menilai India dan Thailand termasuk di antara negara-negara Asia yang mungkin menghadapi kenaikan tarif sebesar 4 hingga 6 poin persentase, dengan asumsi, AS mengenakan bea masuk untuk mengurangi selisih tersebut.
Analis menambahkan bahwa mungkin ada ruang bagi India untuk meningkatkan pembelian alutsista, energi, dan pesawat AS.
Tingkat dampaknya bergantung pada rincian kebijakan potensial, termasuk apakah pemerintahan Trump menargetkan tarif rata-rata nasional, industri atau produk individual, atau faktor-faktor pertimbangan lainnya.
Meski dalam beberapa kasus, tingkat tarif keseluruhan suatu negara atas barang-barang AS relatif rendah, tingkat tarifnya bisa jauh lebih tinggi untuk barang-barang tertentu, seperti otomotif atau pertanian.
Para analis Morgan Stanley menyebut “pemberlakuan tarif sudah jauh lebih agresif” dibandingkan saat perang dagang pertama Trump pada 2018-2019. Ketegangan perdagangan bisa meningkat lebih jauh, dan “perkembangan minggu ini mungkin telah meningkatkan risiko tersebut lebih jauh lagi.”[sya]